Resensi Buku: Potret Sosial Masyarakat dalam Novel

Yun Februari 07, 2018
Yun
Rabu, 07 Februari 2018
mizan.com
PERGUMAPI.or.id--A Teeuw, pakar sastra dan budaya Indonesia asal Belanda mengemukakan bahwa karya sastra lahir tidak dalam kekosongan budaya. Pengarang akan membawa budaya yang melekat pada dirinya. Maka, apa yang dituliskan Andrea Hirata dalam novel Sirkus Pohon merupakan cermin budaya yang dianutnya. Bahkan pada bagian pengantar, penulis buku mengemukakan, “Fiksi, cara terbaik menceritakan fakta.”

Muasal cerita ini dari pohon delima (punica granatum). Buahnya berkilat dan apabila dikupas susunannya di dalamnya akan terlihat biji-bijian merah segar, manis masam rasanya. Bahkan buah ini merupakan salah satu buah yang tersebut dalam al-Qur’an selain buah Tin, Zaitun, Anggur dan kurma. Dalam banyak budaya, delima melambangkan kesuburan dan panjang usia.

Dari sekian banyak keunggulan delima, penulis justru menggambarkan kebencian tokoh aku, Sobridin, pada pohon delima yang tumbuh di kebun miliknya. Pohon delima itu membuat tokoh aku berurusan dengan sel di polsek Belantik. Saat Sobridin menyobek-nyobek poster balon lurah yang ditempel di pohon delima miliknya. Namun, sebenci apa pun pada pohon delima, tokoh aku tak kuasa untuk menebangnya karena sepasang burung kutilang yang bertengger di atas dahannya. Terlebih, saat Dinda, perempuan yang dicintainya hobi makan buah delima.

Apa yang disampaikan dalam novel Sirkus pohon adalah kejadian yang dapat menimpa siapa saja dan kapan saja. Namun kepiwaian penulis membuat pembaca kembali merenung kemudian menyelami peristiwa demi peristiwa.

Tengoklah si tokoh aku yang sekolah hanya sampai kelas 2 SMP. Kesalahan yang telah dilakukannya di masa lampau akibat berkenalan dengan Taripol, anak yang suka mencuri. Kesalahan itu memang sesekali membuat pikiran buntu terkait mencari pekerjaan. Meski demikian, tokoh aku tidak mau hanya diam menyesali.

Sobridin memutuskan bekerja apa saja, sebagaimana prinsip yang selalu dinasehatkan ayahnya, “Tuhan menciptakan tangan seperti tangan adanya, kaki seperti kaki adanya, untuk memudahkan manusia bekerja” (halaman 37). Dia bangkit, Tetap berniat membanggakan ayahnya yang telah renta.

Akhirnya Sobridin mendapatkan pekerjaan sebagaimana disyaratkan adiknya sebelum mengusirnya dari rumah, yaitu kerja tetap, ada absen berangkat pagi pulang sore, memakai tas, bersepatu, berseragam kemeja, gaji bulanan, ada THR, ada cuti, ada rapat-rapatnya, ada keaikan gaji, asuransi kesehatan, ada mandor, ada lembur. Pekerjaan barunya adalah menjadi badut sebagai bagian sirkus keliling.

Dalam dunia sirkus itulah merupakan titik balik bagi Sobridin untuk lebih menghargai hidup dan berbahagia. “Terbukalah mataku, sirkus begitu asyik disaksikan, gembira ria penonton, bersorak-sorai anak-anak. Namun, ternyata di balik itu terdapat cita-cita yang tinggi, mimpi yang agung, dan rezim latihan militan yang tak ditawar-tawar (halaman 71).

Hal lain yang ingin disampaikan adalah tentang adanya sebuah konspirasi yang kerap ada di sekitar kita. Salah satu konspirasi itu terkait dengan pemilihan kepada desa. Apa yang dipaparkan dalam novel mewakili drama kehidupan nyata. Betapa banyak balon yang berkampanye berbusa-busa dan diakhiri dengan janji tinggal janji. Di nover tersebut terdapat keterkejutan pembaca ketika yang menjadi lurah Desa Ketumbi jusru orang yang sejak awal berkampenya secara jujur mengatakan misi dan visinya. Ia hendak memperuntung diri sendiri, misalnya ingin dihargai, agar punya uang, bisa membeli baju, sepatu, bahkan parfum juga berbagai macam benda sederhana yang sulit untuk dipunyai.

Adapula kisah tentang perceraian yang penyebabnya memang itu-itu saja. Ayah Tegar yang flamboyan bercerai lalu meninggalkan istri dan anaknya beserta sebuah bengkel tua. Pun orang tua Tara yang bercerai karena ayah Tara gila berjudi. Hal yang luar biasa adalah bagaimana anak-anak korban perceraian ini memilih untuk melanjutkan hidup dengan cara terbaik. Kesedihan yang membuat pelakunya tetap mampu berdiri tegak. Pada akhirnya, hukum alam akan terjadi. Barangsiapa yang bersungguh-sungguh ia akan mendapatkannya. Andrea Hirata seperti biasa, berhasil membuat novel yang cerdas dan memikat.

Judul Buku: Sirkus Pohon
Penulis: Andrea Hirata
Penerbit: Bentang
Cetakan: Agustus 2017
Tebal Buku: xiv + 410halaman
Nomor ISBN: 978-602-291-409-9

Yeti Islamawati, S.S.
Guru MTs Negeri 9 Bantul, Anggota Perkumpulan Guru Madrasah Penulis (Pergumapi)
Disiarkan pertama kali di Radar Cirebon edisi 6 Januari 2018

Thanks for reading Resensi Buku: Potret Sosial Masyarakat dalam Novel | Tags:

Next Article
« Prev Post
Previous Article
Next Post »

Related Posts

Show comments
Hide comments

0 komentar on Resensi Buku: Potret Sosial Masyarakat dalam Novel

Posting Komentar