Tampilkan postingan dengan label Karya Ilmiah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Karya Ilmiah. Tampilkan semua postingan

Peningkatan Kemampuan Memahami Teks Deskripsi dengan Metode SQ3R Siswa MTs Negeri 7 Bantul Tahun Pelajaran 2017/2018

Rina harwati November 29, 2018

Abstrak

Penelitian tindakan kelas ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan mengetahui peningkatan kemampuan memahami teks deskripsi setelah mengikuti kegiatan pembelajaran dengan metode SQ3R. Subjek penelitian adalah siswa kelas VIIE MTs Negeri 7 Bantul Tahun Pelajaran 2017/2018. Adapun jenis penelitian ini adalah tindakan kelas dengan dua siklus yang meliputi langkah-langkah perencanaan, implementasi tindakan, observasi, dan refleksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah mengikuti pembelajaran, terdapat 82% siswa yang mencapai kriteria keberhasilan. Selain itu, siswa kelas VIIE menjadi antusias mengikuti pembelajaran dengan tercapainya indikator keberhasilan proses pembelajaran yang ditandai dengan keaktifan siswa sebanyak 75%.

Kata Kunci: SQ3R, membaca pemahaman, teks deskripsi

Pendahuluan

Kemampuan siswa dalam memahami teks deskripsi pada mata pelajaran bahasa Indonesia selama ini masih dikatakan rendah. Meskipun berbagai sarana dapat dimanfaatkan untuk membaca teks deskripsi, tetapi antusias siswa untuk memahami isi bacaan masih perlu ditingkatkan. Aktivitas memahami teks deskripsi tidak lepas dari proses membaca itu sendiri. Proses membaca yang dimaksudkan adalah sebuah aktivitas yang dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan, sehingga menjadi sebuah kebiasaan. Oleh karena itu, agar dapat memahami sebuah teks deskripsi maka siswa dituntut memiliki kebiasaan membaca yang baik.

Selama ini kegiatan membaca hanya sekadar dianggap sebagai suatu aktivitas membunyikan lambang-lambang tulisan dan mengenyampingkan adanya pemahaman, padahal munculnya pemahaman akan diperoleh apabila siswa sudah menjadikan aktivitas membaca sebagai sebuah kebiasaan.

Berdasarkan pengamatan selama ini, kemampuan yang seharusnya tumbuh melalui aktivitas pembelajaran memahami teks deskripsi belum tercapai secara maksimal. Siswa masih mengalami kesulitan memahami teks dengan baik, terutama dalam hal memahami teks deskripsi. Begitu pula dengan aspek kebiasaan membaca yang dimiiki oleh siswa juga masih kurang. Hal ini sejalan dengan pendapat yang disampaikan oleh Tierney, R. J., Readence, J.E., & Dishner, E.K. (1990:89) yang menyatakan bahwa salah satu indikator yang menunjukkan kurangnya kebiasaan membaca adalah siswa belum mampu menjawab dengan benar saat diberi pertanyaan yang memerlukan pemikiran logis, terlebih lagi jika diminta untuk membuat ringkasan cerita secara tertulis.

Pembelajaran memahami teks deskripsi akan dapat berjalan dengan baik jika proses pembelajarannya menarik dan menyenangkan bagi siswa. Agar siswa merasa nyaman dan senang mengikuti pembelajaran maka guru harus pandai mengemas pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik siswanya.

Selama ini guru masih cenderung menggunakan metode pembelajaran yang kurang bervariasi atau masih konvensional. Misalnya penggunaan metode ceramah yang dilanjutkan dengan tanya jawab. Dengan metode yang monoton seperti itu akan menyebabkan siswa menjadi bosan dan enggan mengikuti pembelajaran. Kebosanan itu lama-kelamaan akan berakibat pada kemampuan siswa dalam memahami materi pelajaran yang disampaikan oleh guru. Akhirnya, siswa menjadi tidak tertarik untuk mengikuti pembelajaran yang diampu oleh guru.

Mencermati hal-hal di atas, diperlukan perbaikan proses pembelajaran dengan cara mengimplementasikan metode pembelajaran relevan yang dapat meningkatkan kemampuan memahami teks deskripsi. Banyak membaca akan meningkat kecerdasan verbalnya (Cunningham & Stanovich, 1998: 146-147). Jumlah frekuensi membaca seorang siswa juga merupakan sebuah indikator yang bisa dijadikan acuan seberapa baiknya kebiasaan membaca.

Membaca Pemahaman

Aktivitas membaca yang disertai dengan munculnya sebuah pemahaman dianggap sebagai inti dari membaca (Tierney, R. J., Readence, J.E., & Dishner, E.K., 1990: 38). Membaca adalah salah satu dari rangkaian seorang anak dalam memulai pendidikannya (Chettri & Rouf, 2013: 14). Lebih lanjut disampaikan Cunningham dan Stanovich (1998: 138) bahwa volume membaca baik di dalam maupun di luar sekolah memiliki dampak signifikan pada perkembangan kecepatan membaca dan kelancaran, kosakata, pengetahuan umum dalam kemampuan verbal secara keseluruhan, dan prestasi akademik. Dengan membaca, anak tidak akan merasa rugi baik itu yang dilakukan atas dasar kesenangannya maupun sengaja untuk belajar terkait dengan materi pelajaran yang ada di sekolah. Hal ini sejalan dengan pendapat Greenhough & Martin Hughes (1998: 14) yang menyatakan bahwa kegiatan membaca dengan tujuan belajar atau bersenang-senang memiliki tingkat kepentingan yang sama karena keduanya akan membantu memperluas pengalaman dan pengetahuan anak muda.

Pengertian dan Jenis Teks Deskripsi

Dalam materi bahasa Indonesia kurikulum 2013 dikenal dengan pembelajaran berbasis teks. Salah satu teks yang dipelajari adalah teks deskripsi. Teks deskripsi didefinisikan sebagai sebuah teks genre nonfiksi yang sering dipelajari dan dekat dengan para siswa. Teks deskripsi adalah materi kelas VII yang disampaikan pada semester ganjil. Dalam teks deskripsi siswa dituntut untuk memberikan gambaran mengenai benda atau objek lain secara mendetail. Dalam mendetailkan objek tersebut diperlukan adanya kemampuan untuk mengonkretkan sesuatu yang abstrak dengan pelibatan pancaindera.

Pengertian lain dari teks deskripsi adalah sebuah bentuk tulisan yang berhubungan dengan usaha para penulis untuk memberikan perincian-perincian dari objek yang sedang dibicarakan. Dalam teks deskripsi, penulis memindahkan kesan-kesannya, memindahkan hasil pengamatan, dan perasaannya kepada para pembaca, menyampaikan sifat dan semua perincian wujud yang dapat ditemukan pada objek tersebut. Sasaran yang ingin dicapai oleh seorang penulis teks deskripsi adalah menciptakan atau memungkinkan terciptanya daya khayal (imajinasi) pada para pembaca, seolah-olah pembaca melihat sendiri objek secara keseluruhan (Keraf, 1981: 93).

Sejalan dengan pendapat Keraf, Enre (1988:158) menyatakan bahwa deskripsi berfungsi menjadikan pembaca seakan-akan melihat wujud sesungguhnya dari materi yang disajikan itu, sehingga kualitasnya yang khas dapat dikenal dengan lebih jelas. Hal yang tidak jauh beda tentang pengertian teks deskripsi adalah pendapat yang dinyatakan oleh Widarso (2000: 51) yakni tulisan atau karangan yang “menggambarkan”, yang digambarkan dapat saja suatu benda, orang (atau masyarakat), tempat, atau suatu suasana pada momen tertentu.

Deskripsi adalah gambaran verbal ihwal manusia, objek, penampilan, pemandangan, atau kejadian. Cara penulisan ini menggambarkan sesuatu sedemikian rupa sehingga pembaca dibuat mampu (seolah merasakan, melihat, mendengar, atau mengalami) sebagaimana dipersepsi oleh pancaindera. Deskripsi sangat mengandalkan pencitraan konkret dan rincian atau spesifikasi karena dilandasi pada panca indera (Alwasilah dan Senny, 2005: 114).

Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa teks deskripsi dapat didefinisikan sebagai sebuah tulisan nonfiksi yang berisi tentang penyampaian tentang manusia, objek lain, penampilan, pemandangan, kejadian, yang menjadikan pembaca seolah-oleh melihat wujud yang sesungguhnya karena ada proses pengonkretan hal yang abstrak melalui pelibatan panca indera.

Teks deskripsi memiliki berbagai macam jenis. Beberapa ahli berpendapat dan mengklasifikasi tes deskripsi menjadi beberapa bagian. Pertama, Enre membedakan teks deskripsi menjadi dua yaitu teks deskripsi ekspositori dan literer (1988:159). Teks deskripsi ekspositoris adalah teks yang bertujuan memberikan pengertian mengenai hakikat suatu objek sebagai suatu pernyataan agar pembaca dapat memahami hakikat suatu objek sebagai suatu pernyataan agar pembaca dapat memahami hakikat yang diuraikan. Penyajiannya bersifat analitik dan tidak bermaksud menggugah perasaan. Jenis wacana ini biasa juga disebut wacana pemerian teknis atau ilmiah. Kedua, deskripsi literer merupakan deskripsi yang bertujuan menjadikan seseorang melihat sesuatu dengan penuh renik-renik yang menghasilkan kesan dalam perasaan. Memusatkan perhatian pada bagian akhir, menyangkut warna kehidupan dan keragaman subjeknya meskipun hal tersebut berhubungan dengan benda yang sangat sederhana. Sifatnya sedikit subjektif dan literer. Dengan menggunakan sifat-sifat faktual objeknya sebagai titik tolak, bergerak dengan bebas ke dalam dunia perasaan dan imajinasi.

Sementara itu, Keraf (1981: 84) menyatakan bahwa berdasarkan tujuannya, teks deskripsi dibedakan menjadi dua macam, yaitu deskripsi sugesif dan deskripsi teknis atau ekspositoris. Teks deskripsi sugestif menurut Keraf adalah teks yang berusaha untuk menciptakan suatu penghayatan terhadap suatu objek melalui imajinasi para pembaca. Teks deskripsi mempunya sasaran untuk menggambarkan ciri, sifat, dan watak dari objek sehingga muncul sugesti tertentu pada pembaca melalui perantaraan kata-kata yang dipilih oleh penulis. Di sisi lain, teks deskripsi teknis atau ekspositoris adalah teks yang bertujuan untuk memberikan identifikasi atau informasi mengenai objek, sehingga pembaca dapat mengenalnya bila bertemu atau berhadapan dengan objek tadi.

Terakhir, teks deskripsi terbagi menjadi teks deskripsi pemerian faktual dan pemerian pribadi (Tarigan, 2008: 54-55). Lebih lanjut teks deskripsi pemerian faktual dimaknai sebagai teks yang secara faktual harus menyatakan apa adanya, tidak ditambahi, dan tidak dikurangi. Informasi disajikan secara jelas dan objektif. Sementara itu, pemerian pribadi dimaknai bahwa teks deskripsi ditulis berdasarkan responsi seseorang terhadap objek, situasi, suasana, dan pribadi dengan berusaha membagikan pengalaman penulis kepada para pembaca agar dapat dinikmati bersama-sama dengan harapan dapat menciptakan kembali dan menimbulkan responsi yang sama.

Dari beberapa pendapat mengenai jenis-jenis teks deskripsi dapat disimpulkan bahwa teks deskripsi dibagi menjadi dua yakni sugestif dan ekspositoris. Dikatakan sebagai teks deskripsi sugestif jika berisi penggambaran mengenai suatu hal yang bersifat menciptakan suatu penghayatan terhadap objek melalui imajinasi pembaca, sedangkan ekspositoris berisi gambaran tentang suatu hal secara objektif, apa adanya, sesuai kenyataan, dan tanpa ada kesan subjektif dari penulis.

Metode SQ3R

Salah-satu metode pembelajaran yang diharapkan dapat meningkatkan kebiasaan membaca dan kemampuan memahami teks deskripsiadalah metode SQ3R. SQ3R adalah suatu metode metode yang paling populer digunakan dalam kegiatan membaca (Artis, 2008: 130). Metode ini mencakup lima langkah dalam membaca yakni S (survey), Q (question), R (read), R (recite), dan R (review). (Donald dan Kneale 2001 : 64), (Huber, 2004: 108).

Selanjutnya, kelima langkah tersebut dijabarkan oleh Huber (2004: 108) sebagai berikut. S (survei)  siswa diminta  untuk menyurvei teks yang akan mereka baca, selanjutnya siswa harus membuat pertanyaan (Q) yang mereka harapkan dapat dijawab dalam pembacaan. Carlston (2011: 143) mengemukakan bahwa pada tahap survei ini seorang pembaca memeriksa isi dan pengetahuan atau informasi yang ada dalam sebuah bacaan yang meliputi judul, bagan, angka, kata yang teridentifikasi, dan ringkasan). Adapun 3R dimaknai sebagai membaca, membaca kembali, dan meninjau ulang.

R yang pertama adalah membaca (read) yang dimaksudkan para siswa membaca secara saksama teks yang diberikan. Definisi membaca kembali (R yang ke-2 yakni recite) berarti bahwa siswa harus meninjau kembali dengan berhenti secara berkala untuk merefleksikan apa yang telah mereka baca, untuk berinteraksi dengan teks, dan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dihasilkan oleh siswa itu sendiri. Jadi, pada tahap recite ini siswa diminta untuk memberi jawaban atas pertanyaan yang sudah disusun pada tahap sebelumnya. Demikian juga, ketika sampai pada tahap meninjau (R yang ke-3 atau review) siswa diminta untuk memeriksa kembali dan membuat ringkasan teks yang dibacanya. Selain itu, mereka juga didorong untuk mencatat informasi yang telah dinilai sebagai hal yang paling penting dan atau relevan (Huber, 2004: 108).

Strategi SQ3R dirancang pada teks yang berisi sebuah informasi dan paling cocok digunakan untuk membaca dan memberi penugasan terkait buku teks. SQ3R dapat dirinci menjadi banyak keterampilan yang berbeda-beda dan terpisah untuk mendukung kesuksesan dalam membaca. (Huber, 2004: 108). Dengan berdasarkan pada teori yang telah disebutkan, penelitian ini akan membahas tentang peningkatan kebiasaan membaca dan kemampuan memahami teks deskripsidengan menggunakan metode SQ3R.

Metode

Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang terdiri atas dua siklus. Penelitian ini dilaksanakan di MTs Negeri 7 Bantul Yogyakarta, selama bulan Agustus s.d. Oktober 2017. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VIIE yang sedang menempuh semester ganjil pada tahun akademik 2017/2018. Target subjek penelitian ini berjumlah 32 siswa. Prosedur penelitian yang dilakukan mengacu pada rancangan penelitian yang dikemukakan oleh Kemmis dan Mc.Taggart (Sukmadinata, 2006; Kunandar, 2008) terdiri atas empat tahap, yaitu tahap perencanaan, tahap implementasi tindakan, tahap observasi, dan tahap refleksi.

Penelitian Tindakan kelas yang dilakukan terdiri atas dua siklus, siklus pertama dan kedua dilakukan dalam dua kali pertemuan. Untuk memperoleh data penelitian digunakan perangkat pembelajaran, yaitu silabus dan RPP. Instrumen penelitian yang digunakan untuk mengetahui kemampuan memahami teks deskripsi adalah lembar observasi kegiatan pembelajaran, catatan lapangan, pedoman wawancara, dokumentasi, dan tes.

Data yang diperoleh dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Teknik kualitatif digunakan untuk menentukan keterlaksanaan rencana pembelajaran dan rencana tindakan, mendeskripsikan aktivitas siswa dan guru dalam kegiatan pembelajaran, kemampuan siswa untuk menyelesaikan tugas, serta hambatan-hambatan yang muncul dalam pelaksanaan pembelajaran yang didukung oleh hasil pengamatan proses pembelajaran dan catatan lapangan. Teknik kuantitatif digunakan untuk mengetahui kemampuan memahami teks deskripsi siswa, tanggapan siswa terhadap kegiatan pembelajaran, dan untuk mengetahui apakah implementasi pembelajaran dapat meningkatkan kemampuan memahami teks deskripsi pada siswa.

Untuk mendeskripsikan implementasi metode SQ3R dalam meningkatkan proses pembelajaran akan ditinjau dari aspek aktivitas guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran, aktivitas siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran, partisipasi siswa dalam kegiatan pembelajaran, kendala-kendala yang dihadapi dalam mengimplementasikan metode SQ3R dan aspek-aspek spesifik lainnya. Tingkat keaktifan siswa dalam pembelajaran ditandai dengan 75% siswa aktif. Sementara itu, untuk mendeskripsikan kemampuan siswa dalam memahami teks deskripsi akan ditinjau dari kriteria keberhasilan. Seorang siswa dikatakan berhasil belajar jika memperoleh nilai lebih dari atau sama dengan 75. Selanjutnya, suatu kelas dikatakan berhasil secara klasikal jika terdapat paling sedikit 75% siswa telah berhasil.

Hasil dan Pembahasan

Tahap-tahap dalam penelitian ini terbagi menjadi dua yakni pelaksanaan tindakan siklus 1 dan tindakan siklus 2. Sebelum dilakukannya tindakan, peneliti melakukan tahap pratindakan berupa observasi dan wawancara terhadap siswa dan guru sebagai sarana menemukan permasalahan-permasalahan terkait dengan pembelajaran teks deskripsi di dalam kelas. Berdasarkan pengamatan diperoleh hasil bahwa siswa tidak antusias dalam mengikuti proses pembelajaran, suasana pembelajaran kurang kondusif baik dari segi siswa maupun guru. Pengukuran kemampuan memahami teks deskripsi dan teks-teks lain secara umum dapat pada saat pratindakan dilihat pada tabel.

Tabel 1. Persentase Nilai Keberhasilan Siswa Pratindakan
Keterangan Memahami
Teks Deskripsi
Banyak Siswa
Presentase
Berhasil
7
21,87%
Belum berhasil
25
78,13%
Jumlah
32
100%
Hasil tes memahami teks deskripsidi peroleh fakta bahwa hanya 7 siswa yang telah memenuhi kriteria keberhasilan yakni sebesar 21,87% dari keseluruhan jumlah siswa di kelas VIIE, sedangkan sisanya sebanyak 25 siswa belum berhasil atau sebesar 78,13% dari keseluruhan jumlah siswa di kelas VIIE. Dengan nilai  yang diperoleh tersebut, mengindikasikan  bahwa masih banyak siswa yang belum mampu memahami sebuah informasi dari bacaan yang berbentuk teks deskripsi,  siswa juga belum  dapat  mengaitkan  pengalaman baru tersebut  ke dalam kehidupan sehari-hari. Selain pengamatan dan tes, dari hasil wawancara diketahui bahwa guru selama ini mengalami kesulitan dalam mengajarkan materi memahami bacaan, guru juga belum menemukan metode yang tepat dalam proses pembelajaran. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pada tahap pratindakan jumlah siswa yang mencapai kriteria keberhasilan terkait dengan kemampuan memahami teks deskripsi persentasenya sangat sedikit dan belum berhasil.

Adapun dari hasil tes pascatindakan siklus 1 diperoleh jumlah siswa yang mencapai kriteria keberhasilan sudah mengalami peningkatan. Hal ini seperti yang terdapat pada tabel.
Tabel 2. Persentase Nilai Tes Keberhasilan Memahami Teks Deskripsi Pascasiklus 1
Keterangan Memahami
Teks Deskripsi
Banyak Siswa
Presentase
Berhasil
20
62,50%
Belum berhasil
12
37,50%
Jumlah
32
100%
Berdasarkan hasil tes siklus 1 yang dapat dilihat pada tabel di atas akan diperoleh fakta bahwa sebanyak 20 (62,50%) siswa dinyatakan berhasil karena mendapatkan nilai ≥75, sedangkan sisanya sebanyak 12 (37,50%) siswa dinyatakan belum berhasil karena mendapat nilai di bawah kriteria keberhasilan yang telah ditetapkan.  Nilai tertinggi  yaitu 90,00. Pemerolehan nilai ini tentunya cukup menggembirakan jika dibandingkan nilai tertinggi yang mampu dicapai oleh siswa pada saat tes pratindakan hanya 80,00.

Berdasarkan hasil belajar siklus 1 dapat dilihat adanya suatu keberhasilan walaupun belum sepenuhnya. Namun, kenaikan ini menunjukkan adanya peningkatan kemampuan siswa dalam memahami teks deskripsi dengan menggunakan metode SQ3R. Peningkatan tersebut dapat dilihat dari rerata nilai siswa pada tahap pratindakan. Rerata nilai siswa dalam tes memahami teks deskripsi pada tahap pratindakan adalah 62,59, sedangkan pada siklus 1 menjadi 74,89. Angka-angka ini menunjukkan adanya peningkatan sebesar 12,30.

Selain itu, proses pembelajaran pada tahap siklus 1 sudah lebih kondusif. Sudah ada beberapa siswa yang berani bertanya, beberapa siswa antusias mengikuti pembelajaran, konsentrasi, dan lebih tenang. Meskipun demikian, keaktifan siswa pada siklus 1 belum mencapai 75%.

Selanjutnya, dari tes pascatindakan siklus 2 diperoleh hasil seperti yang terdapat pada pada tabel berikut ini.

Tabel 3. Persentase Nilai Tes Keberhasilan Memahami Teks Deskripsi Pascasiklus 2
Keterangan Memahami
Teks Deskripsi
Banyak Siswa
Presentase
Berhasil
26
81,25%
Belum berhasil
6
18,75%
Jumlah
32
100%
Berdasarkan hasil tes siklus 2 yang dapat dilihat pada tabel di atas akan diperoleh fakta bahwa sebanyak 26 siswa (81,25%) siswa dinyatakan berhasil karena mendapatkan nilai ≥75, sedangkan sisanya sebanyak 6 siswa (18,75%) dinyatakan belum berhasil karena mendapat nilai di bawah kriteria keberhasilan yang telah ditetapkan.  Nilai tertinggi yang dicapai siswa adalah 93,33 dan rata-rata kelas yaitu 80,52 Dengan kata lain, kelas VIIE berhasil secara klasikal.

Selain itu, proses pembelajaran pada tahap siklus 2 lebih kondusif dibandingkan saat siklus 1. Sebanyak 75% lebih siswa fokus saat pembelajaran berlangsung, berkonsentrasi, berani bertanya jawab, dan tidak ada lagi yang mengantuk.

Berdasarkan tabel 3 maka telah terbukti bahwa keberhasilan pembelajaran memahami teks deskripsi pada siklus II mencapai 81,25 %. Selanjutnya, peneliti dan kolaborator melakukan diskusi pelaksanaan siklus II, membicarakan hasil memahami teks deskripsi yang sebagian besar sudah mencapai kriteria keberhasilan dan tujuan pembelajaran telah tercapai. Proses pembelajaran memahami teks deskripsi sudah baik. Peneliti dan kolaborator memutuskan bahwa penelitian berhenti pada siklus II karena tujuan pembelajaran sudah tercapai.

Setelah dilakukan tes pascatindakan siklus 2 dapat disimpulkan bahwa secara klasikal siswa telah mengalami keberhasilan pembelajaran. Hal ini ditunjukkan oleh persentase siswa yang telah berhasil secara individual sebanyak 81,25%. Kriteria keberhasilan yang telah dicapai dapat disebabkan oleh aktivitas siswa dalam mengikuti pembelajaran, mengerjakan tugas sesuai langkah-langkah dalam SQ3R, memperdalam materi yang harus dipahaminya melalui kegiatan di dalam maupun di luar kelas sebelum pembelajaran dengan cara memperbanyak membaca, berdiskusi dengan teman, konsultasi dengan guru di luar jam pelajaran, serta adanya tuntutan untuk mengulang materi pembelajaran (Hamra and Syatriana, 2012:1).

Pembelajaran memahami teks deskripsi dapat mencapai hasil yang baik dengan digunakannya metode SQ3R dalam penelitian ini. Berbagai teori mengenai penerapan  metode SQ3R (Survey, Question, Read, Recite, and Review) yang dikemukakan oleh Burns, Roe & Ross (1984: 266), Rudell (2005: 264), Brown (2001:315), tidak hanya mampu meningkatkan kualitas proses pembelajaran, tetapi juga mampu meningkatkan kemampuan siswa dalam memahami teks deskripsi yang dapat dilihat dari hasil tes siswa dalam setiap siklusnya. Dengan didukung adanya penjelasan dari guru mengenai tahap-tahap yang dilakukan untuk memraktikkan metode SQ3R sangat berpengaruh terhadap kemampuan memahami teks deskripsi siswa.

Terjadinya peningkatan hasil evaluasi dari siklus pertama ke siklus kedua sangat selaras dengan pendapat Burns, Roe & Roes (1984: 266) bahwa metode SQ3R adalah salah satu metode terbaik untuk membaca pemahaman, karena dapat membantu siswa untuk mengingat materi bacaan dengan lebih baik. Hasil evaluasi siklus I dan siklus II juga sejalan dengan pemikiran Soedarso (2010 : 59) yang berpendapat bahwa dengan menggunakan metode SQ3R informasi yang telah diperoleh dapat bertahan lebih lama karena adanya teknik-teknik yang digunakan dalam menemukan ide pokok dan detail penting yang bervariasi.

Berdasarkan data yang diperoleh pada tahap pascatindakan, terjadi peningkatan kemampuan  siswa  pada  tiap  siklusnya,  sesuai  dengan  tujuan  penelitian  tindakan kelas, yang menitikberatkan pada perubahan atau terjadinya peningkatan pada setiap siklusnya (Huda, 2015:48).

Selain itu, hasil yang diperoleh dalam penelitian ini sesuai dengan hasil yang diperoleh dalam penelitian yang dilakukan oleh Diana Situmorang (2017) tentang upaya  peningkatan  keterampilan  membaca  pemahaman  melalui penerapan  metode SQ3R pada siswa kelas XA SMA Negeri 1 Tempunak.

Penelitian yang relevan berikutnya dilakukan oleh Hari Yudi R. (2015), dengan judul The effectiveness of Using SQ3R Strategy on Teaching Reading Comprehension. Hasil penelitian dikelola menggunakan statistik dan menunjukkan bahwa strategi SQ3R berguna dan efektif dalam mengajarkan membaca pemahaman hal ini dibuktikan dengan nilai kelompok eksperimen lebih tinggi dari kelompok kontrol.

Berdasarkan fakta yang terkumpul dari data-data penelitian yang telah dilakukan, hipotesis tindakan yang berbunyi penerapan metode SQ3R dapat meningkatkan kemampuan memahami teks deskrip sisiswa kelas VIIE MTs Negeri 7 Bantul telah terbukti.

Penutup dan Kesimpulan

Dengan berdasarkan pada hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa penggunaan metode SQ3R dalam penelitian ini dapat meningkatkan kemampuan memahami teks deskripsi siswa kelas VIIE MTs Negeri 7 Bantul. Hal tersebut dibuktikan dengan ditunjukkannya  peningkatan kualitas proses pembelajaran dan peningkatan hasil belajar siswa.

Kualitas proses pembelajaran dikatakan meningkat dengan ditandai adanya peran serta dan keaktifan siswa ketika pembelajaran berlangsung.  Peningkatan tersebut mencakup keaktifan, antusiasme, dan daya konsentrasi siswa yang dapat dilihat pada keberlangsungan pembelajaran yang sangat kondusif dan menyenangkan. Adapun peningkatan hasil belajar siswa terlihat dari jumlah siswa yang berhasil mendapatkan nilai ≥75 atau tuntas secara individual, dalam memahami teks deskripsi. Jumlah siswa yang mencapai nilai lebih dari 75 pada saat siklus 1 berjumlah 20 siswa (62,50%) dan pada siklus 2 menjadi 26 siswa (81,25%). Oleh karena itu, target keberhasilan secara klasikal juga telah terpenuhi, yang merupakan indikator keberhasilan tindakan dalam penelitian tindakan kelas ini.

Selain itu, diperoleh implikasi bahwa dengan metode yang tepat dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Selain itu kemampuan guru dalam mengelola kelas dan memberi motivasi pada siswa juga memiliki peranan penting dalam proses pembelajaran. Metode SQ3R dalam penelitian ini telah terbukti mampu meningkatkan kemampuan memahami teks deskrip sisiswa kelas VIIE MTs Negeri 7 Bantul. Metode SQ3R membantu siswa dalam memahami teks deskripsi dan informasi-informasi baru yang didapatkan dapat bertahan lebih lama, karena langkah-langkah dalam SQ3R mendukung agar informasi yang didapatkan tidak mudah hilang begitu saja.

Guru dapat menggunakan metode ini untuk melatih siswa secara berkesinambungan, agar siswa terbiasa dan dapat menguasai metode ini dengan lebih baik. Terciptanya kebiasaan yang baik dapat memacu siswa untuk mampu memahami setiap permasalahan yang dihadapinya dan mampu mencari solusi dengan tepat.

Daftar Pustaka

Artis, Andrew B. (2008). Improving marketing students’ reading comprehension with the sq3r method. Journal of Marketing Education, Volume 30 Number 2 August 2008 130-137 University of South Florida, Lakeland. Retrieved from http://journals.sagepub.com/doi/pdf/10.1177/0273475308318070.

Alwasilah, A. Chaedar dan Senny Suzanna Alwasilah. (2005). Pokoknya Menulis (Cara Baru Menulis dengan Metode Kolaborasi). Bandung: PT Kiblat Buku Utama.

Brown, H.D. (2001). Teaching by principles an interactive approach to language pedagogy second edition. California: Pearson ESL.

Burns, P.C., Roe, B.D. & Ross, E.P. (1984). Teaching reading in today’s elementary school third edition. Boston: Houghton Mifflin Company.

Carlston, David L. (2011). Benefits of Student-Generated Note Packets: A Preliminary Investigation of SQ3R Implementation. Teaching of Psychology 38(3) 142-146. sagepub.com/journalsPermissions.nav. DOI: 10.1177/0098628311411786. Retrieved from http://top.sagepub.com.

Chettri, Ms.Kushmetta & S.K.Rout. (2013). Reading habtis an overview. IOSR Journal of humanities and social sciense (IOSR-JHSS) Vol. 14: 13-17. Retrieved from http://www.iosrjournals.org/iosr-jhss/papers/Vol14-issue6/C01461317.

Cunningham, A.E. & Staovich, K.E. (1998) What reading does for the mind ? Journal of Direct Instruction, Vol. 1, No. 2, pp. 137–149. Reprinted with permission from The American Federation of Teachers. American Educator, Vol. 22, No. 1–2, pp. 8–15. Retrieved from http://mccleskeyms.typepad.com/files/what-reading-does-for-the-mind.pdf.

Donald, S.G. & Kneale, P.E. (2001). Study skills for language students a practical guide. London: Arnold.

Enre, Fachruddin Ambo. (1988). Dasar-Dasar Keterampulan Menulis. Jakarta: Depdikbud.

Greenhough, P.&Martin Hughes. (1998). Parents' and teachers' interventions in children's reading. British Educational Research Journal, Vol. 24, No. 4: 382-398. Retrieved from https://www.tandfonline.com/doi/pdf/10.1080/0141192980240402.

Hamra, A. and E. Syatriana. (2012). “A Model of Reading Teaching for University EFL.

Huber, Jennifer A. (2004). A closer look at SQ3R. ED.gov.ies.institute of education science journal. Retrieved from https://eric.ed.gov/?id=EJ705142.

Huda, M. (2015). Penelitian tindakan kelas teori dan praktik. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Keraf, Gorys. (1981). Deskripsi dan Deskripsi. Flores: Nusa Indah.

Kunandar. (2008). Penelitian tindakan kelas sebagai pengembangan profesi guru. Jakarta:PT Rajagrafindo Persada.

Rudell, M.R. (2005). Teaching content reading and writing. Hoboken: John Wiley & Son Inc.

Rayanto, Y.H. (2015). The effectiveness of using sq3r strategy on teaching reading comprehension. Akademic Research international Vol. 6 (6)   Diambil pada tanggal 27 Februari 2017, dari http://www.savap.org.pk/journals/ARInt./Vol.6(6)/2015(6.6-06).pdf.

Soedarso. (2010). Speed reading: sistem membaca cepat dan efektif. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Situmorang, Diana Sriani. (2017). Peningkatakan keterampilan membaca pemahaman dan kemampuan berpikir kritis melalui metode sq3r pada siswa kelas XA SMA Negeri 1 Tempunak Kabupaten Sintang Kalimantan Barat. Tesis, tidak diterbitkan, Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta.

Sukmadinata, Nana Syaodih. (2006). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Tarigan, Henry Guntur. (2008). Menulis sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.

Tierney, R. J., Readence, J.E., & Dishner, E.K. (1990). Reading strategies and practices a compendium. Third edition. USA: Allyn and Bacon.

Widarso, Wishnubroto. (2000). Kiat Menulis dalam Bahasa Inggris. Yogyakarta: Kanisius.

Tulisan karya Rina Harwati, M.Pd,. Sekretaris Bidang Humas, Informasi, dan Kerja Sama Antarlembaga Pergumapi yang pernah dipublikasikan pada prosiding Annual Conference on Madrasah Teachers (ACoMT) Kanwil Kemenag DIY.

Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk Meningkatkan Kemampuan Menulis Karya Ilmiah Sederhana Siswa Kelas IX MTs Negeri Cepogo

Maret 08, 2018

Oleh Suharmi
Guru MTs Negeri Cepogo, Anggota Pergumapi

Latar Belakang

MTs Negeri Cepogo adalah madrasah yang terletak di Desa Gunungwijil, Bakulan, Cepogo, Kabupaten Boyolali Jawa Tengah. Jumlah siswa keseluruhan adalah sebanyak 623 untuk siswa kelas 7, 8, dan 9. Pada tahun pelajaran 2016/2017 ini, terdapat peningkatan jumlah siswa sehingga kelas paralel kelas VII bertambah 1 sehingga menjadi 7 paralel.

Sebagian besar siswa MTs Negeri Cepogo berasal dari lingkungan sekitar madrasah, namun tidak sedikit pula yang berasal dari daerah yang letaknya relatif jauh seperti Selo, perbatasan Magelang dan sebagainya. Bagi siswa yang tergolong jauh, perjalanan ke sekolah ditempuh mulai dari berjalan kaki, antar jemput, naik kendaraan sendiri, sampai yang sekaligus mondok di area sekitar madrasah.

Para wali murid yang kebanyakan merupakan penduduk asli, sebagian besar merupakan petani atau pekerja dengan tingkat pendidikan rata-rata yang tergolong rendah bahkan memprihatinkan. Namun demikian, animo masyarakat yang tinggi untuk menyekolahkan anaknya di madrasah demi membekali anak dengan ilmu agama dan akhlak selain ilmu umum, merupakan amanah besar yang harus disyukuri dan ditindaklanjuti. Rendahnya tingkat pendidikan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan, banyak mempengaruhi sikap dan cara siswa mengaktualisasikan diri dalam kegiatan pembelajaran.

Khusus dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas, secara spesifik, kurangnya kemampuan aktualisasi diri siswa salah satunya dapat dilihat dari masih rendahnya kemampuan menulis siswa. Sebagai aspek kebahasaan yang harus dikuasai, hal tersebut merupakan permasalahan penting. Jika tidak ada upaya penyelesaian maka tujuan utama pembelajaran bahasa Indonesia tidak akan dapat tercapai dengan baik. Oleh karena itu, maka dibutuhkan strategi khusus yang diharapkan akan meningkatkan kemampuan menulis siswa kelas IX MTs Negeri Cepogo.

Untuk penelitian tahun pelajaran 2016/2017 ini, penelitian dilakukan dengan subjek penelitian siswa kelas IX MTs Negeri Cepogo. Hal ini dilakukan untuk lebih mengetahui secara nyata hasil upaya peningkatan kemampuan menulis siswa melalui pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam materi menulis karya ilmiah sederhana.

Baca file lengkap ...

Meminimalis Siswa Terisolir Dengan Layanan Penguasaan Konten Hasil Analisis Sosiogram

Maret 08, 2018
Laomao
Umi Solikatun, S.Pd.
Guru Bimbingan dan Konseling MAN Yogyakarta II, Sekretaris Bidang Organisasi Pergumapi

Abstrak: Tujuan penelitian tindakan bimbingan dan konseling yaitu meminimalisir jumlah siswa terisolir dalam belajar dengan layanan penguasaan konten hasil analisis sosiometri. Subyek Penelitian berjumlah 27 siswa kelas X MIPA. Metode pengumpulan data menggunakan angket dan observasi dengan teknik analisis data dalam penelitian ini adalah deskriptif komparatif, yaitu membandingkan motivasi belajar siswa antara kondisi awal dengan siklus I dengan siklus II, membandingkan antara motivasi belajar siswa pada saat awal kegiatan dengan siklus II. Hasil penelitian tindakan bimbingan dan konseling ini adalah layanan penguasaan konten hasil analisis sosiogram dapat meminimalisir siswa terisolir dalam belajar.

Kata Kunci: LayananPenguasaan Konten, Analisis Sosiometri, siswa terisolir

Download artikel lengkap

Desain Pembelajaran PMRI Materi Luas Permukaan dan Volume Balok di Kelas VIII A Semester Genap MTs Negeri Lab UIN Yogyakarta Tahun Pelajaran 2014/2015

Maret 01, 2018
Alamy.com
Noor Shofiyati
Guru Matematika MTs Negeri 9 Bantul, Wakil Sekjen Pergumapi

Tulisan ini dilatarbelakangi oleh keinginan untuk melaksanakan pembelajaran yang menarik, menyenangkan, dan lebih bermakna di kelas matematika dengan mengkontekskan pembelajaran dengan hal-hal dalam kehidupan real. Hal ini mengingat bahwa dalam dunia anak sesuatu yang kongkrit lebih mudah dipahami dibandingkan dengan sesuatu yang abstrak.

Desain dan implementasi pembelajaran melalui pendekatan PMRI dipilih karena pembelajaran tentang konsep kubus dan balok, dalam hal luas permukaan dan volumenya, akan lebih bermakna jika dilakukan dengan mengambil konteks dari hal-hal real dalam kehidupan sehari-hari. Desain Pembelajaran ini terdiri dari tiga tahap yaitu preliminary design (analisis kurikulum, penentuan indikator dan tujuan pembelajaran), teaching experiment (penerapan desain pembelajaran) dan retrospective analysis (refleksi terhadap pembelajaran yang telah dilakukan).

Hasil dari pembelajaran ini adalah siswa lebih aktif melakukan aktivitas dalam pembelajaran, pembelajaran lebih menyenangkan dan bermakna.

Kata Kunci: Luas Permukaan, Volume, Balok, Pembelajaran Matematika Realistik

Download file lengkap

Diterbitkan pertama kali di Jurnal Pendidikan Madrasah Volume 2 Nomor 2 November 2015.

Budaya Prestasi MTs NU Pakis dengan Lima Disiplin Learning Organization

Maret 01, 2018

Dr. Najmah, S.Pd., M.Pd.
Kepala MTs NU Pakis, Ketua Bidang Penerbitan Pergumapi

KUALITAS madrasah dapat diidentifikasi dari banyaknya siswa yang memiliki prestasi, baik prestasi akademik maupun nonakademik, serta dari keberhasilan madrasah mencapai visi dan misinya. Melalui siswa yang berprestasi dapat ditelusuri manajemen madrasahnya, profil gurunya, sumber belajarnya, dan lingkungannya. Dengan demikian, kualitas madrasah adalah kualitas siswa yang mencerminkan kepuasan pelanggan, adanya partisipasi aktif manajemen dalam proses peningkatan kualitas secara terus menerus, pemahaman dari setiap orang terhadap tanggung jawab yang spesifik terhadap kualitas, setiap individu dalam madrasah dan stakeholders menyadari serta merealisasikan prinsip mencegah terjadinya kerusakan, dan melaksanakan pandangan bahwa kualitas adalah cara hidup (way of life) (Komariah dan Triatna, 2006).

Secara esensial, istilah mutu/kualitas merujuk pada suatu ukuran penilaian atau penghargaan yang diberikan atau dikenakan kepada barang (product) dan/atau jasa (service) tertentu berdasarkan pertimbangan objektif atau bobot dan/atau kinerjanya (Pfeffer dan Coote dalam Komariah dan Triatna, 2006). Jasa atau produk tersebut harus menyamai atau melebihi kebutuhan dan harapan pelanggannya. Dalam hal ini, mutu pelayanan madrasah ditunjukkan dengan berbagai prestasi yang diperoleh siswa.

Prestasi merupakan bukti kesuksesan dengan tujuan akhir yakni bermanfaat bagi sesama, bermanfaat dalam jangka waktu lama, ke banyak orang, semakin lama dan semakin luas. Prestasi hendaknya dijadikan budaya yang diraih terus menerus dan bisa dipertahankan dari tahun ke tahun, semakin meluas cakupannya, dan tidak insidental atau sekadar pencitraan saja. Budaya prestasi yang tumbuh di madrasah penting sekali dipelihara dan ditingkatkan sehingga akan dapat menjamin kebertahanan kualitas madrasah. Selain itu, semangat seluruh warga madrasah untuk memberikan produk/karya/hasil yang terbaik juga harus dipertahankan. Madrasah mana yang tidak beruntung jika setiap elemen pembentuknya berupaya untuk terus memberikan yang terbaik untuk madrasah. Hal ini dapat terwujud jika semua elemen pembentuk madrasah memiliki kebulatan tekad untuk mewujudkan visi madrasah, di samping visi yang dimiliki oleh masing-masing elemen. The Fifth Dicipline of The Learning Organization (Senge, 1994) menjadi jawaban atas kebutuhan madrasah untuk selalu menciptakan budaya prestasi. Dari penelitian Senge (1994) ada lima disiplin yang terbukti ada pada organisasi yang berkualitas, yaitu personal mastery, building shared vision, mental models, systems thinking, dan team learning.

Download file lengkap.

Disampaikan dalam rangka Kompetisi Guru, Kepala Madrasah, dan Pengawas Berprestasi Tahun 2015.

Membela Hak Anak untuk Mendapatkan Pendidikan sebagai Upaya Mencerdaskan Generasi Muda Indonesia

Februari 22, 2018
Cgvector.com

Oleh Nazaruddin S.Pd.I.
Guru Bahasa Arab pada MTs Madinatul Ilmi Kab. Langkat, Anggota Pergumapi

Pendahuluan

Salah Satu stasiun televisi swasta menayangkan profil tentang kondisi pendidikan di negeri ini, melalui sebuah highlights "Menggugat Pendidikan Nasional" yang menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2009 untuk sektor pendidikan. Pemerintah yang menganggarkan 20% dari APBN untuk pendidikan, disinyalir dan di duga masih belum menjamin terselesaikannya persoalan pendidikan nasional negera ini dengan kelimpahan sumberdaya alam nya. Hal ini terbukti dengan masih kurang meratanya fasilitas pendidikan dan masih terasa terabaikan hak-hak anak dalam mengenyam pendidikan, serta dengan banyaknya bangunan-bangunan sekolah di negeri ini yang rusak dan tak layak digunakan untuk belajar,terlebih di daerah pelosok negeri kita tercinta ini.Hampir mencapai 50% untuk bangunan SD/MI, 18% bangunan rusak untuk SMP dan MTs serta jumlah anak putus sekolah untuk tingkat SD yang mencapai 2,97% atau sekitar 211.063.000 jiwa.

Kenyataan di atas sangat mengiris hati, bagaimana mungkin peradaban bangsa ini akan di bangun sementara pendidikan sebagai alat untuk membangun manusianyapun belum menjadi prioritas yang paling utama.Jutaan anak bangsa merintih di sudut-sudut bumi pertiwi, tidak hanya perut kosong menunggu datangnya nasi, tapi otak mereka pun turut meminta haknya untuk diberi pendidikan yang layak. Anak-anak negeri hanya bisa berharap dengan tapak-tapak kaki mereka yang terlalu lemah untuk berlari mengejar cita-cita, sementara sabagian para elit pemimpin negara menghambur-hamburkan uang dengan peruntukan yang tidak tepat sasaran. Sekolah roboh di sana-sini, anak-anak putus sekolah dapat ditemui di mana-mana, hampir di setiap jalanan baik perempatan, pertigaan lampu merah dan di tempat lainnya kita temui anak-anak usia sekolah itu berkeliaran.

Sebagian dari mereka menjadi pengemis, pengamen dan pedagang asongan, tak terkecuali yang dieksploitasi sebagai sapi perahan demi membantu orang tua mereka memenuhi kebutuhan hidup yang semakin sulit .Terlepas dari faktor ekonomi yang "memaksa" mereka untuk melakukan hal tersebut. Tetapi ditinjau dari sisi lain, permasalahan ini sebenarnya merupakan tugas utama pemerintah untuk segera mewujudkan "kemerdekaan" pendidikan terutama bagi anak-anak bangsa, sebagaimana ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak , pasal 9 ayat (1)menyatakan "Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya."Masih banyaknya anak yang belum mendapatkan hak dalam pendidikan tidak lepas dari latar belakang sejarah negeri ini dan kondisi bangsa yang masih carut marut. Setelah beberapa kurun waktu kebelakang di awal era reformasi mengalami berbagai tempaan dan bencana. Hal ini memang bukan sepenuhnya kesalahan pemerintah. Namun, persoalan kemiskinan yang masih belum teratasi, korupsi yang terjadi di berbagai instansi (termasuk di lembaga yang mengatasnamakan wakil rakyat), pertarungan elit politik yang sudah menjadi santapan sehari-hari, kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang diikuti dengan naiknya berbagai harga makanan pokok dan persoalan-persoalan krusial lainnya, semuanya itu sudah barang tentu berdampak kepada sektor pendidikan di negeri ini yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah sebagai penyelenggara utama negara yang tercinta ini.

Terlepas dari masalah yang dihadapi negara kita, pendidikan tetap harus menjadi prioritas yang paling utama bagi pemerintah,Karena Pendidikan Merupakan Senjata yang sangat ampuh sebagai pembasmi kemiskinan,Karena kemajuan sebuah negara terkait erat dengan kualitas pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah tersebut. Harus diakui, bahwa pada kurun waktu belakangan kualitas pendidikan kita terutama di lembaga formal terus menurun ditandai dengan menurunnya kualitas sumber daya manusia. Pakar pendidikan Arief Rachman juga pernah menilai terpuruknya bangsa dalam segala bidang disebabkan oleh masalah utama pendidikan yang tergambar dari kurang meratanya fasilitas, mutu guru, jumlah siswa, dan kurikulum yang belum mengakomodasi nilai-nilai budaya bangsa. Menyoroti tentang kualitas pendidikan, sebuah informasi yang mencengangkan dari artikel yang ditulis di internet bahwa sebuah negara yang beribukota Helsinki ternyata merupakan negara yang menduduki peringkat pertama sebagai negara yang kualitas pendidikannya terbaik di dunia. Peringkat I dunia diperoleh negara yang bernama Finlandia ini berdasarkan hasil survey internasional yang komprehensif pada tahun 2003 oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) melalui sebuah tes yang dikenal dengan nama PISA yaitu mengukur kemampuan siswa di bidang Sains, Membaca dan Matematika. Bahkan negara Finlandia bukan saja unggul secara akademis tetapi unggul dalam mewujudkan pendidikan bagi anak-anak yang lemah mental. Faktor yang meyebabkan negara Finlandia ini menjadi negara yang memiliki kualitas pendidikan terbaik di dunia ternyata salah satunya terletak pada peningkatan kualitas guru. Selain itu pula pemerintah Finlandia sangat memperhatikan anggaran untuk pendidikanserta memiliki sistem pendidikan yang berkualitas. Mulai dari kurikulum, metodologi pembelajaran, sistem penilaian, kinerja guru dan sebagainya, termasuk model pendekatan kepada siswa atau anak-anak ketika mereka menyampaikan pengajaran.

Melihat suksesnya negara Finlandia tentunya banyak negara yang iri, termasuk negara Indonesia. Namun persoalannya sekarang bagaimana kita dapat mewujudkan kualitas pendidikan itu, dengan terlebih dahulu mewujudkan hak-hak anak negeri ini dalam mendapatkan pendidikan, dan upaya apa saja yang harus dilakukan untuk menghadapi tantangan kedepan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa agar negara kita jauh lebih bermartabat dan diakui oleh dunia internasional.

Landasan Hak Memperoleh Pendididikan

A. Landasan Yuridis

Hak memperoleh pendidikan secara yuridis terdapat dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945, Bab XIII, pasal 31 ayat 1 dan 2 : 1) Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran; 2) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang. Demikian juga yang terdapat dalam penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, disebutkan, "bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu, serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan”. Sebagai bentuk kesungguhan Indonesia dalam memajukan dan melindungi hak dasar anak khususnya atas pendidikan, Pemerintah Indonesia telah melakukan upaya pemberdayaan baik secara konstitusional maupun institusional. Hal tersebut sekaligus dimaksudkan untuk lebih meningkatkan citra positif Indonesia di mata dunia. Sehubungan dengan pemberdayaan secara konstitusional, pemerintah Indonesia telah meratifikasi sejumlah instrument internasional Hak Asasi Manusia antara lain dengan bentuk Undang-undang dan Keputusan Presiden. Adapun pemberdayaan secara institusional dilakukan dengan pembentukan sejumlah lembaga atau komite yang berada dalam kewenangan Negara maupun lembaga swadaya masyarakat. Salah satu bentuk perwujudan dari pemberdayaan secara konstitusional yaitu terbentuknya Undang-Undang Republik Indonesia No.39 tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia yang mencantumkan hak anak dalam memperoleh pendidikan yaitu pasal 60 ayat (1) dan (2) yang menyatakan (1) "Setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya sesuai dengan minat, bakat dan tingkat kecerdasannya"; Sedangkan ayat (2) menyatakan "Setiap anak berhak mencari, menerima, memberikan informasi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya demi pengembangan dirinya sepanjang sesuai dengna nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan."

Demikian juga yang tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, pasal 9 ayat (1) yang pernyataanya telah dikemukakan pada pendahuluan. Bentuk lain dari pemberdayaan secara konstitusional adalah berupa Keputusan Presiden (Kepres ) Republik Indonesia No. 36 tahun 1990 tentang pengesahan konvensi hak-hak anak dan Kepres No. 12 tahun 2001 tentang komite aksi nasional penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Sedangkan pemberdayaan secara institusional adalah dengan pembentukan kelembagaan dan komite, seperti: (1) Komite Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) yang dibentuk sesuai dengan Keputusan Presiden No.50 tahun 1993 yang kemudian dikukuhkan dengan Undang-undang no. 39 tahun 1999; (2).
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dengan Keputusan Presiden RI no.77 tahun 2003. Lembaga ini bersifat independen yang dibentuk berdasarkan Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dalam rangka meningkatkan efektifitas penyelenggaraan perlindungan anak.Demikian sebenarnya secara hukum kita sudah memiliki landasan yang kuat untuk mewujudkan hak anak dalam memperoleh pendidikan di negara ini.

B. Landasan Religius

Anak adalah amanat bagi kedua orang tuanya, kewajiban orang tua memberikan pendidikan kepada anak merupakan urusan yang sangat berharga dan menempati prioritas tertinggi. Kalbu seorang anak yang masih bersih bak permata yang tak ternilai harganya, bila ia dididik dan dibiasakan untuk melakukan kebaikan, niscaya dia akan tumbuh menjadi baik, sebaliknya bila ia dididik dan dibiasakan dengan perbuatan buruk dan  jelek, maka ia akan menjadi orang yang merugi dan celaka dunia akhirat. Demikian yang ditulis Imam Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddinnya.Menurut pandangan Islam mengenai hak anak dalam mendapatkan pendidikan sebetulnya terkait erat dengan tanggung jawab orang tua terhadap anaknya.

Orang tua berkewajiban memberikan perhatian kepada anak dan dituntut untuk tidak lalai dalam mendidiknya.Jika anak merupakan amanah dari Allah SWT, maka otomatis mendidiknya termasuk bagian dari menunaikan amanah-Nya. Sebaliknya, melalaikan hak-hak mereka termasuk khianat terhadap amanah Allah SWT (QS. An-Nisa: 58). Perkembangan dan kecerdasan anak ditentukan bagaimana orang tua mendidiknya. Oleh karena itu, amanah mendidik anak merupakan sebuah hal yang teramat penting dan tidak seharusnya disepelekan oleh orang tua, kewajiban mereka terhadap anaknya bukan sekedar memenuhi kebutuhan secara lahir seperti makan, minum, pakaian, tempat tinggal dan sebagainya, tetapi juga harus memperhatikan kebutuhan bathin mereka melalui pendidikan (agama). Sebagaimana Allah SWT berfirman yang tercantum dalam kitab Alqur'anyang mulia : "Wahai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu." (QS. At-Tahrim :6).

Mengenai pentingnya menunaikan "amanah" dipertegas juga dalam hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Buhari: "Barangsiapa diberi amanah oleh Allah, lalu ia mati (sedangkan pada) hari kematiannya ia dalam keadaan mengkhinati amanahnya, niscaya Allah mengharamkan surga baginya".Dari riwayat lain, Ibnul Qayyim berkata,"Barangsiapa yang melalaikan pendidikan anaknya serta meninggalkannya secara sia-sia, berarti ia telah berbuat yang terburuk".

Hakikat Pendidikan bagi Anak

Menelusuri hakikat pendidikan bagi anak sebenarnya erat kaitannya dengan pengertian anak sebagai manusia dan makhluk Allah termasuk tujuan-tujuannya. Anak dilahirkan dalam kondisi yang lemah dan tidak tahu apapun, kemudian tumbuh dan berkembang menjadi sesosok manusia yang sesungguhnya. Pertumbuhan dan perkembangan manusia tidak dapat diserahkan begitu saja kepada alam lingkungannya; ia memerlukan bimbingan dan pengarahan karena terbatas kondisi fisik serta kemampuan yang dimilikinya.Oleh karena itu, manusia adalah makhluk yang sebenarnya memerlukan pendidikan. (Sauri , 2006 : 39)Ibarat bayi yang baru lahir dalam keadaan yang serba lemah.

Ia belum dapat berdiri sendiri, belum bisa mencari makan sendiri. Semuanya dalam keadaan yang serba tergantung pada orang lain. Walaupun demikian, ia telah menunjukkan keunikannya kendati dalam takaran yang sederhana. Pada saat ia lahir dari kandungan ibunya ia telah mengekspresikan dirinya dalam bentuk tangis atau gerakan-gerakan tertentu. Tangis atau gerakan yang tanpa latihan itu menggambarkan bahwa anak sejak lahir telah memiliki potensi untuk berkembang. Menurut pandangan Islam, anak adalah sebagai manusia yang mempunyai watak dasar (fitrah) yang baik, yang dalam perkembangannya sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang datang di luar dirinya. Konsep Al-Qur'an mengenai fitrah berbeda dengan konsep teori atau pandangan yang lain . Tentang Fitrah ini dapat ditemukan dalam QS. Ar-Ruum ayat 30: "(Tetaplah) atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia berdasarkan fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah itu."Namun diakui dalam pemikiran Islam bahwa lingkungan berpengaruh juga pada perkembangan fitrah anak seperti diungkapkan dalam sabda Nabi Muhammad SAW: "Tiada seorang manusia dilahirkan, kecuali dalam keadaan fitrah (suci). Orang tuanyalah yang menjadikannya seorang Yahudi dan Nasrani". (HR. Muslim).Fitrah tanpa memperdulikan lingkungan sekitar tidak akan berkembang, mengutip ungkapan yang di tulis Confucius "Walau manusia mempunyai fitrah kesucian, namun tanpa diikuti dengan intruksi (pendidikan dan sosialisasi), sifat manusia dapat berubah menjadi binatang, bahkan lebih buruk lagi."Tetapi dalam perkembangannya anak tidak dapat dipandang sebagai budak lingkungan, Artinya lingkungan bukanlah satu-satunya faktor yang dapat mempengaruhi individu anak. Namun yang jelas menurut pandangan Islam anak sebagai manusia yang diciptakan Allah SWT berdasarkan fitrahnya, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Fitrah inilah yang kemudian akan membedakan manusia dengan makhluq Allah  lainnya, dan fitrah ini pulalah yang membuat manusia itu istimewa dan lebih mulia.Hal demikan sesungguhnya menunjukkan kepada kita bahwa manusia dapat memperoleh kecakapan melalui sesuatu yang bisa merubah dirinya menjadi lebih baik dan tahu tentang berbagai hal, yaitu melalui pendidikan. Karenapendidikan merupakan salah satu jembatan membuka tabir ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kemudian melalui pendidikan pula manusia derajatnya bisa meningkat dan kehidupannya akan berubah sesuai dengan tingkat pendidikannya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al- Mujadilah ayat 11: "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. . ."

Makna Pendidikan dan Pendidikan Sebagai Sebuah Sistem

Makna Pendidikan

Dalam kajian yuridis formal, makna pendidikan seperti tersurat dalam UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, diungkapkan sebagai berikut:"Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pada rumusan tersebut, minimal terdapat 4 (empat) hal yang patut mendapat telaah seksama dalam mencermati makna pendidikan, yaitu: "usaha sadar", bagaimana" menyiapkannya, "melalui apa dan bagaimana", serta bagaimana mengetahui hasilnya terutama dalam "peranannya di masa mendatang".

Pertama, pendidikan sebagai usaha sadar. Hal tersebut memiliki makna bahwa pendidikan diselengarakan dengan rencana yang matang, mantap, sistematik, menyeluruh, berjenjang berdasarkan pemikiran yang rasional obyektif disertai dengan kaidah untuk kepentingan masyarakat dalam arti seluas-luasnya. Kedua, fungsi pendidikan adalah menyiapkan peserta didik. Maksudnya pendidikan lebih merupakan suatu proses berkesinambungan dalam upaya menyiapkan peserta didik menuju kesiapan dan kematangan pribadi yang menyangkut tiga aspek yaitu pengetahuan (kognitif), sikap atau perilaku (afektif) dan keterampilan (psikomotorik). Ketiga, strategi pelaksanaan pendidikan dilakukan melalui berbagai bentuk kegiatan antara lain kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau pelatihan.

Secara sederhana bimbingan (guidance) dimaknakan sebagai pemberian bantuan, arahan, nasihat, penyuluhan agar peserta didik dapat mengatasi dan memecahkan masalah yang dialaminya. Sedangkan pengajaran (teaching) adalah bentuk interaksi antara tenaga kependidikan dengan peserta didik dalam suatu kegiatan belajar-mengajar untuk mengembangkan perilaku sesuai dengan tujuan pengajaran. Keempat, garapan pendidikan seyogyanya berpijak ke masa kini dan beroreintasi ke masa depan.Hasilnya yang ingin dicapai oleh proses pendidikan adalah terbinanya sumber daya manusia dengan tuntutan pembangunan, yaitu sosok manusia Indonesia seutuhnya yang bisa memecahkan persoalan hari ini dan masa mendatang.

Implementasi Hak Anak Memperoleh Pendidikan di Indonesia

Kita semua sepakat sebagai komponen bangsa bahwa pada saat ini pendidikan nasional kita masih belum mencapai standar kualitas pendidikan yang diharapkan. Hal itu terbukti dengan masih rendahnya pemerataan pendidikan bagi semua warga negara, khususnya generasi-generasi anak bangsa di penjuru bumi pertiwi ini. Lantas apa yang dapat kita lakukan untuk mewujudkan hak anak tersebut, tentunya kita jangan sampai putus asa apalagi mati langkah dan inovasi untuk terus berjuang menuntut hak-hak mereka kepada pemerintah dengan landasan hukum yang ada atau dengan upaya apapun yang bisa kita lakukan termasuk melakukan kerjasama dengan pihak swasta agar mereka mau berperan aktif dalam menciptakan instrumen pendidikan yang murah dan terjangkau bagi masyarakat Untuk mewujudkan pendidikan barangkali tidak bisa sepenuhnya mengandalkan pada pemerintah yang tampaknya untuk saat ini masih jauh dan belum memperlihatkan keseriusan dalam menangani masalah hak dasar anak bangsa ini.

Kita sebagai masyarakat sebaiknya proaktif dan cermat memfasilitasi serta mengupayakan sendiri pendidikan sebagai bekal kehidupan untuk masa depan putera-puteri kita kelak.Dalam prakteknya pendidikan itu ada 3 (tiga), yaitu formal, nonformal, dan informal.

Bila kita memiliki keterbatasan mendapatkan pendidikan formal, bukan berarti tamatlah hak kita mendapatkan pendidikan.Kita sebetulnya dapat mengupayakan pendidikan  informal yang tidak kalah manfaatnya bagi putera-puteri. Dimanapun kita berpijak, merupakan tempat bagi kita mendidik dan menjadi pendidik, karena mendapatkan pendidikan tidaklah harus di dalam kelas dan bersifat formal. Sebagaimana dijelaskan dalam landasan pendidikan menurut pandangan Islam, pendidikan yang harus lebih awal diterapkan kepada anak adalah di lingkungan keluarga yang merupakan tanggung jawab utama orang tua.

Dalam kehidupan sehari-hari dalam keluarga, Ibu adalah pendidik utama dan pertama bagi anak-anak. Kelembutan tangan seorang Ibu dapat mengukir sejarah gemilang perkembangan kecerdasan anak-anak bangsa. Walaupun pendidikan formal dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi mengalami kemunduran, tetapi Ibu sebagai pendidik utama anak-anak jangan ikut serta gagal menciptakan mutu pendidikan alamiah di rumah-rumah mereka.Upaya lain yang dapat dilakukan bagi sebagian masyarakat yang belum dapat memperoleh pendidikan lewat jalur formal, bisa melalui kursus dan pendidikan lain pada jalur pedidikan luar sekolah seperti program Paket A dan B yang ketentuannya sudah ada dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.73 tahun 1991.

Walaupun belum terlealisasikan sepenuhnya bahwa adanya rencana pemerintah tentang program pendidikan gratis 12 Tahun Wajib Belajar juga merupakan sebuah solusi demi pemerataan pendidikan terutama untuk masyarakat yang tidak mampu membayar biaya pendidikan yang sekarang semakin hari semakin mahal.Untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional pemerintah maupun swasta diharapkan dapat menyediakan sarana dan prasana pendidikan yang memadai, dimulai dari pembangunan gedung sekolah yang permanen dan kokoh, ruang kelas yang sesuai dengan kapasitas  anak, penyediaan sarana buku penunjang, ruang perpusatakaan, laboratorium, dan sebagainya yang tentunya akan menunjang kelancaran program pendidikan terutama yang berkenaan dengan proses belajar mengajar.Peningkatan kualitas guru merupakan salah satu upaya juga dalam mewujudkan kualitas pendidikan nasional.

Guru dituntut harus profesional dalam mendidik anak didiknya.Hal ini sesuai Undang-Undang no.14 tahun 2005 tentang peningkatan kualifikasi dan sertifikasi guru dan dosen, Guru harus memenuhi kualifikasi dan kompetensi yang sudah ditetapkan oleh pemerintah saat ini yaitu untuk tahun ke depan pemerintah menetapkan kualifikasi akademik untuk guru melalui pendidikan tinggi sampai jenjang S-1 atau program diploma empat (D-IV).Guru atau pendidik juga wajib memiliki kompetensi profesi yang meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional.Selain itu pula kualitas pendidikan nasional dapat diwujudkan melalui pemerataan tenaga pengajar yang profesional, diantaranya guru harus mau ditempatkan dimana saja di berbagai daerah terutama di daerah tertinggal yang pendidikannnya belum berkembang seperti di daerah perkotaan.Pembenahan terhadap metode pengajaran yang selama ini cenderung monoton dan kurang inovatif merupakan upaya juga yang dapat kita lakukan dalam mewujudkan pendidikan yang berkualitas.

Penyajian metode pembelajaran yang lebih inovatif dan menciptakan suasana belajar yang menyenangkan akan lebih menumbuhkembangkan potensi-potensi yang dimiliki anak didik sehingga mereka mampu meningkatkan pemahaman terhadap fakta/konsep/prinsip dalam kajian ilmu yang dipelajarinya yang kemudian akan terlihat kemampuannya untuk berpikir logis, kritis, dan kreatif. Sekarang ini telah banyak falsafah dan metodologi pembelajaran yang dipandang baru-mutakhir untuk dikembangkan terutama bagi para pendidik, seperti model pembelajaran konstruktivis, pembelajaran kooperatif, pembelajaran terpadu, pembelajaran aktif, pembelajaran kontekstual (contextual taching and learning atau CTL), pembelajaran berbasis projek (project based learning), pembelajaran berbasis masalah (problem based learning), pembelajaran interaksi dinamis, dan sebagainya termasuk yang kemarin sempat membooming di dunia pendidikan kita yang dipopulerkan melalui seminar-seminar, dan pelatihan yaitu pembelajaran quantum (quantum learning) dan quantum teaching.Upaya lain yang sebenarnya sangat perlu segera dibenahi dalam rangka mewujudkan kualitas pendidikan adalah melalui perbaikan/pembenahan sistem pendidikan yang ada.

Sebagaimana kita ketahui bahwa pendidikan merupakan sebuah sistem yang terdiri dari komponen-komponen yang satu sama lain saling berkaitan. Komponen-komponen tersebut harus diperbaiki dengan secara bertahap kearah kemajuan dan perbaikan mutu pendidikan.Ada 12 (dua belas) komponen pendidikan yang berhubungan satu sama lain seperti diungkapkan P.H. Coombs (1968:78) yaitu :1. Tujuan dan prioritas; 2. Peserta didik; 3. Manajemen; 4. Struktur dan jadwal; 5. Isi bahan belajar; 6. Pendidik; 7. Alat bantu mengajar; 8. Fasilitas; 9. Teknologi; 10. Pengawasan mutu; 11. Penelitian; 12. Ongkos pendidikan.

Pendidikan Nilai sebagai Keniscayaan Bagi Anak Bangsa

Ketentuan umum Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS point 2 menyebutkan bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD Republik Indonesia tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Selain itu, dalam Bab II Pasal 3 disebutkan pula bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Adanya kata-kata beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab dalam tujuan pendidikan nasional di atas menandakan bahwa yang menjadi bahan dalam praktek pendidikan hendaknya berbasis kepada seperangkat nilai sebagai paduan antara ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Bahkan, tujuan pendidikan nasional yang utama menekankan pada aspek keimanan dan ketakwaan. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa core value pembangunan karakter moral bangsa bersumber dari keyakinan beragama.

Artinya, semua proses pendidikan harus bermuara pada penguatan nilai-nilai ketuhanan sesuai dengan keyakinan agama yang diyakininya.Praktek pendidikan pada jalur formal dewasa ini justru cenderung kurang memperhatikan esensi dari tujuan pendidikan nasional di atas, hal ini terbukti dengan kurang memadukannya nilai-nilai ketuhanan dalam proses pembelajaran yang dilaksanakannya, ironisnya justru lebih banyak berorientasi kepada pengembangan struktur kognitif semata. Fenomena tersebut tentunya sangat bertentangan dan membuat jarak antara tujuan dan hasil pendidikan nasional semakin jauh.

Berbagai fenomena sebagaimana disebutkan pada bagian pendahuluan, serta kenyataan semakin menggelindingnya proses dekadensi moral dikalangan generasi bangsa, semakin menunjukan bahwa praktek pendidikan dewasa ini tidak bersandar kepada amanah undang-undang yang mengisyaratkan pendidikan yang berbasis kepada seperangkat nilai (baca: pendidikan nilai), serta semakin penting dan mendesaknya pendidikan nilai.Pendidikan nilai merupakan proses penanaman dan pengembangan nilai-nilai pada diri seseorang. Dalam pengertian yang hampir sama, Mardiatmadja dalam Mulyana (2004:119) mendefinisikan pendidikan nilai sebagai bantuan terhadap peserta didik agar menyadari dan mengalami nilai-nilai serta menempatkannya secara integral dalam keseluruhan hidupnya. Pendidikan nilai tidak hanya merupakan program khusus yang diajarkan melalui sejumlah mata pelajaran, akan tetapi mencakup keseluruhan program pendidikan.

Walaupun persepsi nilai dalam pemahaman anak belum sedalam pemahaman orang dewasa, namun benih-benih untuk mempersepsi dan mengapresiasi dapat ditumbuhkan pada usia dini. Usia dini adalah masa pertumbuhan nilai yang amat penting karena usia dini merupakan golden age. Di usia ini anak perlu dilatih untuk melibatkan pikiran, perasaan, dan tindakan seperti menyanyi, bermain, menulis, dan menggambar agar pada diri mereka tumbuh nilai-nilai kejujuran, keadilan, kasih sayang, toleransi, keindahan, dan tanggung jawab dalam pemahaman nilai menurut kemampuan mereka.Dari berbagai pendekatan yang dapat digunakan dalam praktek pendidikan nilai, pendekatan penanaman nilai(inculcation approach) merupakan pendekatan yang paling tepat digunakan dalam pelaksanaan pendidikan nilai di Indonesia. Walaupun pendekatan ini dikritik sebagai pendekatan indoktrinatif oleh penganut filsafat liberal. Namun, berdasarkan kepada nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia dan falsafah Pancasila, pendekatan ini dipandang paling sesuai. Alasan-alasan untuk mendukung pandangan ini antara lain sebagai berikut.

1) Tujuan pendidikan nilai adalah penanaman nilai-nilai tertentu dalam diri siswa. Pengajarannya bertitik tolak dari nilai-nilai sosial tertentu, yakni nilai-nilai Pancasila dan nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia lainnya, yang tumbuh dan berkembangan dalam masyarakat Indonesia.

2) Menurut nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia dan pandangan hidup Pancasila, manusia memiliki berbagai hak dan kewajiban dalam hidupnya. Setiap hak senantiasa disertai dengan kewajiban, misalnya: hak sebagai pembeli, disertai kewajiban sebagai pembeli terhadap penjual; hak sebagai anak, disertai dengan kewajiban sebagai anak terhadap orang tua; hak sebagai pegawai negeri, disertai kewajiban sebagai pegawai negeri terhadap masyarakat dan negara; dan sebagainya. Dalam rangka pendidikan nilai, siswa perlu diperkenalkan dengan hak dan kewajibannya, supaya menyadari dan dapat melaksanakan hak dan kewajiban tersebut dengan sebaik-baiknya.

3) Menurut konsep Pancasila, hakikat manusia adalah makhluk Tuhan Yang Maha Esa, makhluk sosial, dan makhluk individu. Sehubungan dengan hakikatnya itu, manusia memiliki hak dan kewajiban asasi, sebagai hak dan kewajiban dasar yang melekat eksistensi kemanusiaannya itu. Hak dan kewajiban asasi tersebut juga dihargai secara berimbang. Dalam rangka pendidikan nilai, siswa juga perlu diperkenalkan dengan hak dan kewajiban asasinya sebagai manusia.

4) Dalam pengajaran nilai di Indonesia, faktor isi atau nilai merupakan hal yang amat penting. Dalam hal ini berbeda dengan pendidikan moral dalam masyarakat liberal, yang hanya mementingkan proses atau keterampilan dalam membuat pertimbangan moral. Pengajaran nilai menurut pandangan tersebut adalah suatu indoktrinasi yang harus dijauhi. Anak harus diberikan kebebasan untuk memilih dan menentukan nilainya sendiri. Pandangan ini berbeda dengan falsafah Pancasila dan budaya luhur bangsa Indonesia, yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Misalnya, berzina, berjudi, adalah perbuatan tercela yang harus dihindari; orang tua harus dihormati, dan sebagainya. Nilai-nilai ini harus diajarkan kepada anak, sebagai pedoman tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari.Dengan demikian, dalam pengajaran nilai faktor isi nilai dan proses, keduanya sama-sama penting.Salah satu komponen terpenting dalam pendidikan adalah tujuan pendidikan, tujuan pendidikan dapat diartikan sebagai hasil-hasil yang dicita-citakan dari tindakan pendidikan. Tujuan pendidikan harus diarahkan kepada pengembangan tiga dimensi yang dimiliki oleh manusia yaitu dimensi fisikal, mental dan spiritual.

Dimensi fisikal lebih ditandai dengan ketercapaian kemampuan dan sikap yang menjadikan manusia sehat dan kuat. Sedangkan mental berhubungan dengan pengembangan intelegensia atau kecerdasan intelektual. Sementara dimensi spiritual yaitu mengarah kepada perwujudan kualitas kepribadian yang bersifat ruhaniah dalam bentuk tingkah laku, akhlak, dan moralitas yang mencerminkan kualitas kepribadian. Ketiga dimensi tersebut harus dicapai secara terintegrasi dan merupakan satu kesatuan yang akan membentuk kepribadian untuk mencapai manusia yang unggul (Human Excellence).Namun, pada kenyataannya harus diakui bahwa pendidikan yang berlangsung saat ini belum dapat mewujudkan ketiga dimensi/aspek di atas dengan seimbang dan proporsional. Salah satu penyebabnya adalah penyelengaraan pendidikan lebih menitikberatkan pada aspek intelektual dan kurang menyentuh aspek spritual. Karena itu output pendidikan sebagian besar hanya menampilkan performance intelektual, sementara tampilan sikap dan perilaku terpujinya sangat mengkhawatirkan.

Oleh karena itu, dalam rangka membentuk keseimbangan ketiga aspek tersebut pada anak didik, pendidikan mesti melakukan transfer of knowledge sekaligus transformation and internalization of value.Dalam kaitannya dengan upaya mewujudkan tujuan pendidikan yang terfokus pada aspek spritual, pendidikan nilai merupakan salah satu upaya untuk mengembangkan aspek spiritual. Melalui pembelajaran di lembaga-lembaga formal ataupun informal pendidikan nilai dipandang sangat perlu dan penting untuk diterapkan, mengingat semakin maraknya perilaku-perilaku buruk di kalangan remaja maupun anak-anak sekarang yang membuat tanggung jawab sebagai orang tua maupun pendidik semakin berat.Bukan hanya kesabaran dan keikhlasan yang harus lebih ditunjukkan oleh para guru maupun pun orang tua, tetapi pendidikan agama dan penerapan budi pekerti luhur serta keteladanan orang tua menampilkan akhlaq yang mulia harus lebih diintensifkan baik di lingkungan keluarga maupun di lingkungan sekolah sebagai lembaga formal pendidikan.

Penerapan konsep-konsep pendidikan nilai pernah juga diterapkan pada sebuah lembaga pendidikan di Thailand yaitu di sekolah dan Institute of Sathya Sai Education yang didirikan oleh Dr.Art-Ong Jumsai Na-Ayudha,Bahkan beliau pernah datang ke Indonesia untuk mengisi sebuah seminar internasional yang bertema "Membangun Bangsa melalui Pendidikan Hati" yang diselenggarakan atas kerjasama Prodi Pendidikan Umum/Nilai dengan Yayasan Pendidikan Sthya Sai Indonesia. Dalam makalahnya yang berjudul "Human Values Integrated Instructional Model" (Model Pembelajaran Nilai-nilai Kemanusian Terpadu), beliau menuliskan sebuah konsep tentang tujuan model pembelajaran yang menerapkan konsep pendidikan nilai dengan menggunakan suku kata dalam kata EDUCATION (SAI 2000, p.82), yang maknanya:

E--- Singkatan untuk enlightenment (pencerahan). Ini adalah proses pencapaian pemahaman dari dalam diri atau bathin melalui peningkatan kesadaran menuju pikiran super sadar yang akan memunculkan intuisi, kebijaksanaan, dan pemahaman.

D--- Singkatan untuk duty and devotion (tugas dan pengabdian). Pendidikan harus membuat siswa menyadari tugasnya dalam hidup. Selain memiliki tugas atau kewajiban yang terhadap orang tua dan keluarga, siswa juga memiliki kewajiban yang berlandaskan cinta kasih dan belas kasih untuk melayani dan menolong semua orang di masyarakat dan di dunia.

U--- Singkatan untuk understanding (pemahaman). Ini bukan hanya mengenai pemahaman terhadap mata pelajaran yang diberikan dalam kurikulum nasional tetapi juga penting untuk memahami diri sendiri.

C--- Singkatan untuk character (karakter). Guru mesti membentuk karekter yang baik pada diri siswa. Seorang yang berkarakter adalah seorang yang memiliki kekuatan moral dan lima nilai kemanusiaan yaitu Kebenaran, Kebajikan, Kedamaian, Kasih sayang dan tanpa Kekerasan. Nilai-nilai kemanusiaan tersebut harus terpadu dalam pembelajatran di kelas.

A--- Singkatan untuk action (tindakan). Para siswa kini belajar dengan giat dan menuangkan pengetahuan yang dipelajarinya dalam ruang ujian dan keluar dengan kepala kosong. Pengetahuan yang mereka peroleh tidak diterapkan dalam tindakan. Pendidikan seperti itu tak berguna. Apapun yang dipelajari siswa mesti diterapkan dalam praktek. Model pembelajaran yang baik mesti membuat hubungan anatara yang dipelajari dan situasi nyata dalam hidup. Hal ini akan memungkinkan siswa mengaplikasikan pengetahuan ke dalam hidup mereka sendiri.

T--- Singkatan untuk thanking (berterima kasih). Siswa mesti belajar berterima kasih kepada orang-orang yang telah membantu mereka. Di atas segalanya adalah orang tua yang telah melahirkan dan mengasuh mereka. Siswaharus mengasihi dan menghormati orang tua mereka. Selanjutnya siswa harus berterima kasih kepada guru-guru, karena siswa memperoleh pengetahuan dan kebijaksanaan melalui guru-guru. Maka siswa mesti mengasihi dan menghormati guru. Demikian pula, siswa telah mendapatkan banyak hal dari masyarakat, dari bangsa, dari dunia, dan alam. Siswa mesti selalu berterima kasih kepada semua hal.

I--- Singkatan untuk integrity (integritas). Integritas adalah sifat jujur dan karakter menjunjung kejujuran (hornby 1968). Siswa mesti tumbuh menjadi sesorang yang memiliki integritas, yang bisa dipercaya unutk menjadi pemimpin di bidangnya masing-masing.

O--- Singkatan untuk oneness (kesatuan). Pendidikan mesti membantu siswa melihat kesatuan dalam kemajemukan. Apakah kita memiliki agama atau kepercayaan yang berbeda, warna kulit dan ras yang berbeda. Kita mesti belajar hidup damai dan harmonis dengan alam.

N--- singkatan untuk nobility (kemuliaan). Kemuliaan adalah sifat yang muncul karena memiliki karakter yang tinggi atau mulia. Kemuliaan tidak timbul dari lahir tetapi muncul dari pendidikan. Jadi, kemuliaan terdiri dari semua nilai-nilai yang dijelaskan di atas.

Penutup

Jika kita perhatikan secara seksama  sebagian besar pendidikan saat ini telah menjadi komoditas bisnis tersendiri. Kurangnya perhatian pemerintah terhadap bidang ini menumbuh suburkan usaha-usaha menjadikan pendidikan sebagai usaha profit oriented yang mengakibatkan persaingan dalam dunia pendidikan yang semakin tajam. Dengan demikian, sangat diperlukan kehati-hatian dalam memilih pendidikan yang bermutu dan bernilai. Mutu suatu pendidikan dapat dilihat dari output yang dihasilkan, melalui proses belajar mengajar serta sarana dan prasarananya. Input yang baik, kemudian diproses dengan yang baik maka akan menghasilkan output yang baik pula. Melalui pendidikan yang bermutu, kita berharap dapat menghasilkan sumber daya manusia yang handal, yang mampu memenangkan persaingan di kancah percaturan internasional dan era global. Semua itu dapat kita raih jika kita memiliki komitmen untuk membekali sumber daya manusia itu dengan bekal pendidikan yang terbaik. Terbaik di sekolahnya maupun terbaik yang telah diberikan orang tua kepada anak-anaknya. Berikan pendidikan kepada anak-anak kita sedini mungkin dengan pendidikan terbaik yang diawali dari rumah. Persiapkanlah masa depan anak-anak kita. Utamakanlah pendidikan mereka, karena pendidikan merupakan bekal bagi mereka menghadapi masa depan. Kita berharap pendidikan nasional di masa yang akan datang menjadi lebih baik. Sehingga tidak ada lagi generasi masa depan yang berkeliaran di jalan saat teman-teman sebayanya sedang belajar berhitung dan membaca di kelas-kelas .

Terakhir, marilah kita sama-sama berjuang untuk mewujudkan pendidikan anak, terlebih pendidikan yang lebih mengintegrasikan dimensi fisikal, mental dan spiritual, pendidikan yang memadukan dimensi IQ, ES dan SQ, atau pendidikan yang tidak hanya mengagungkan wilayah kognisi, melainkan keterpaduan antara kognisi, afeksi dan psikomotor, sehingga suatu saat anak-anak kita menjadi generasi-generasi penerus bangsa yang bisa diandalkan dan membawa citra negara kita menjadi negara yang lebih bermartabat di kancah internasional. (*)