Cerpen: Gaung Rumah Mewah

Februari 11, 2018
Minggu, 11 Februari 2018
Chicagonow.com
SUATU pagi yang meredup ditemani bunyi desis angin menerpa dedaunan dan sesekali menyapu rumput untuk menari. Seorang anak dua puluh tahunan mengibas-kibaskan selimut sisa tidur semalam. Tercium bau rokok dan apek seperti seminggu belum tercuci. Hidupnya, tak semanis teh yang tersaji di meja dekat kamar tempat ia mengemasi selimut bergambarkan daun-daunan berwarna pink seperti selimut sepasang pengantin muda yang sedang menghabiskan bulan madunya. Sudah hampir sepuluh tahun ia mengabdikan diri kepada majikannya. Tuan Bonar  yang menghabiskan waktunya di pasar menjual kembali uang yang dimilikinya dengan hasil berlipat. Rumah megah itu ditinggalinya bersama isteri dan pembantunya.

“Brakk....,” terdengar suara pintu digedor dari luar pagar. Pagar yang menjadi kebanggaan Tuan Bonar, pagar yang melindungi dari riuh kerumunan orang-orang sebelah rumah, pagar hitam yang menyamarkan isi rumah dengan segala rupa harta bendanya. Mulai dari seharga keripik tempe sampai milyaran Pajero seri terbaru yang tidak semua orang bisa memilikinya dengan bangga.

“Buka pintuuuu...,” teriakan Lurahe dari depan gerbang besi yang tinggi tanpa rongga sedikitpun. Maklum, sebagai seorang rentenir Ia lebih nyaman dengan kehidupannya sendiri tanpa ada gangguan harus memberi simpati maupun empatinya ketika sanak saudara dirundung duka. Pun juga melindunginya agar tidak merasa terepotkan karena harus merelakan waktu emasnya mengumpulkan gunungan harta hanya sekadar berbasa-basi bahkan bergaul lama-lama dengan masyarakat sekitar.

“Hei, dengar tidak? bukakan pintunya,” kembali teriakan itu terdengar. Suasana menegang tatkala tak muncul-muncul Tuan Bonar membukakan pintu.  Rumah panjang yang dimiliki Tuan Bonar sangat memungkinkan penghuninya untuk tidak mendengar jika ada orang yang bertandang ke rumahnya. Belum lagi sore hari biasanya waktu yang tepat baginya untuk tidur melepaskan lelah dan penat selama sehari bergelut dengan buku kecil dan uang. Rumah itu besar, taman di depan rumah menambah kemegahan. Tembok yang mengelilingi rumah bercat hijau seolah menutup penghuni rumah untuk bisa dikenal oleh tetangga sekitar. Tembok yang tingginya menjulang sampai batas genting termahal yang juga tak sembarang orang bisa membelinya. Saat malam tiba hanya pendaran sinar lampu mengenai loster kaca dinding paling luar yang terlihat bercahaya pertanda penghuni rumah ada atau tidak.  Belum lagi susahnya melihat wajah sang pemilik rumah terhalang kaca hitam Honda Jazz miliknya. Hanya suara derit pintu gerbang yang dibuka tutup oleh pembantu karena patuhnya terhadap majikan menunggu dering HP sebagai isyarat agar segera dibukakannya pintu gerbang Tuan Bonar.

“Ada apa?” Tuan Bonar keluar masih bersarung dengan rambut kusut dan bekas guratan selimut masih membekas di pipinya.   Bahunya kekar, tinggi tubuhnya sedang, kulit putih bersih dan kumis lebat melengkapi tampilan seorang parlente. Serta beberapa akik emas terlihat melingkar di empat jari tangannya.

“Saya tahu, Tuan Bonar memang kaya, apa-apa  kau punya. Beli apapun kau bisa. Kau tolong orang katamu. Tapi uangmu tak cukup untuk membuat kami bangga kepadamu. Jangan kau hitung seberapa besar kau sudah menolong, uangmu memang tak bisa bicara, tapi uangmu kelak yang menjadi saksi atas perbuatan yang telah kaulakukan terhadap masyarakat. Rumahmu yang megah ini hanyalah simbol yang tidak lantas bisa membiarkanmu bebas menggunakan kekuasaan untuk menindas dan  mencekik kami dalam balutan hutang yang tidak bisa tertebus dalam sekejap waktu. Tidakkah kau lihat seorang ibu yang kau kejar-kejar setiap hari untuk melunasi hutang-hutangnya kepadamu dua atau tiga kali lipatnya itu adalah ibu yang tengah berjuang antara hidup dan mati membiaya anaknya yang entah tinggal berapa bulan saja hitungan umurnya. Dimana rasa kemanusiaanmu? Belum lagi dia adalah tetanggamu sendiri yang hanya tidur beralaskan tikar. Setiap saat menghembus bau tanah karena tidak kuat memberi ubin atau keramik sebagai pelengkap indahnya rumah. Dimana wujud belas kasihanmu ketika sesamamu menderita siang dan malam berpikir bagaimana anaknya bisa bertahan bahkan sembuh dari sakitnya? Jika kau memiliki anak sepertinya pasti kau akan bisa merasakan betapa beban hidupnya sangat berat yang tidak hanya cukup dibantu dengan rasa empati atau ungkapan kasihan dari kita.”

Pintu kembali tertutup setelah Lurahe selesai meluapkan semua amarahnya. Tuan Bonar hanya bisa diam terpaku di samping meja ukir jeparanya yang tampak bersih mengkilat setelah dilap oleh pembantunya. Kalimat terakhir Lurahe kembali menciutkan nyalinya sebagai seorang lelaki. Pernikahan yang sudah dijalani sepuluh tahun lamanya tak kunjung melahirkan seorang anak seperti layaknya lelaki normal lainnya yang hidup dalam balutan kasih sayang yang murni. Seperti kilat di siang bolong, kalimat itu terus menggerus hatinya hingga tak mampu lagi Tuan Bonar melanjutkan tidurnya yang terpotong akibat gedoran pintu Lurahe. Dadanya berkecamuk. Ia terus terhantui oleh kata-kata Lurahe. Hingga larut malam tak kunjung jua mata terpejam. Satu per satu bayang-bayang ngeri dan harap-harap cemas datang silih berganti. Malam itu seolah mata, telinga, dan hati menyatu mengumpulkan serpihan peristiwa demi peristiwa dan kehidupan yang telah dijalaninya bersama isteri sepuluh tahun lamanya.

Tuan Bonar datang tepatnya tiga tahun yang lalu, menghuni rumah yang dibelinya dari salah satu warga dengan harga yang murah. Hingga tahun ketiga keberadaannya di masyarakat tak pernah diterima dengan baik selayaknya orang kebanyakan. Profesinya sebagai rentenir telah membawanya tenggelam dalam kehidupan yang mewah dan menyenangkan. Apapun bisa dimilikinya. Siapa yang bisa mengukur kebahagiaan orang selain hati manusianya sendiri ? Hidup Tuan Bonar memang tercukupi secara material. Namun entah sampai kapan ia bisa menikmati limpahan harta benda yang dimilikinya. Bahkan berkali-kali Lurahe pernah berpikiran untuk mengusir Tuan Bonar keluar dari dusun itu. Ia dianggap virus yang membawa pengaruh tidak baik bagi warganya.

Tuan Bonar menghabiskan malam itu bersama isteri di dalam rumah saja. Pembantu sedang keluar menikmati keramaian kota. Tepat pukul tiga dini hari, rumah megah yang dihuninya sepi. Hanya suara derit mesin pabrik tenun samping rumahnya yang terdengar. Jika siang biasanya rumah itu tak sepi dari nyanyian, gitar dan sesekali raungan alarm mobil saat kilat dan petir datang saat hujan deras turun karena sensitif ketika ada getaran. Rumah megah tampak semakin mewah dalam balutan nuansa lampu malam yang jumlahnya banyak di setiap sudut ruang dengan macam warnanya. Siapa yang bisa mengetahui takdir dan kehendak Tuhan? Bahkan kebahagiaan karena termilikinya semua harta benda hanyalah nisbi belaka. Datang silih berganti layaknya roda yang terus berputar menempati sisi bawah dan atas sampai ia terhenti oleh lelahnya gerakan.

Tepat pukul setengah empat dini hari segerombolan perampok datang menyambangi rumah megah itu membersamai malamnya orang-orang yang sedang takzim bersujud dan berdoa memohon kepada Sang Maha Khalik. Saat Tuan Bonar bersama isterinya mulai lelap dalam tidurnya, segerombolan perampok lancar menjalankan aksinya tanpa ampun. Semua harta benda berharga yang dimilikinya raib tak bersisa. Yang tertinggal hanya meja, almari, kursi sebagai saksi atas peristiwa naas malam itu. Seluruh emas yang dimiliknya lenyap terbawa perampok. HP, motor dan mobil yang ada di rumah semua habis terbawa tamu tak diundang itu. Perampok telah berhasil menorehkan sejarah pada rumah megah milik Tuan Bonar. Sejarah yang patut dikenang. Ada saatnya kental dalam ingatan dan menghilang tatkala kesadaran manusia berada pada taraf kesempurnaan berpikir. Manusia hidup di dunia hanya mampir ngombe. Begitu pepatah Jawa mengatakan. Keberadaannya di bumi ini hanyalah fana. Semua harta dan benda hanya titipan. Tidak ada yang abadi.

Dibukanya mata Tuan Bonar saat tepat suara azan berkumandang dari masjid yang tak jauh dari rumahnya. Biasanya pada waktu itu penduduk sibuk menempati shaf depan membentuk barisan pengawal imam masjid khusyuk menyambut datangnya pagi dengan salat berjamaah. Atau saatnya para penjual ayam, sayur, dan barang hasil panen sawah kebun masyarakat sekitar mulai menjalankan aktivitasnya memutar roda perekonomian di pasar tempat mereka bergelut melawan kerasnya dunia demi sesuap nasi dan seonggok berlian yang tidak dalam waktu singkat dapat ia raup seperti mudahnya Tuan Bonar mengumpulkan rupiah demi rupiah dalam genggamannya.

Sontak Tuan Bonar  kaget dan terpengarah ketika diketahuinya pintu laci almari isteri melongo, jendela kamar terbuka seukuran kepala manusia, dan suasana ruang tengah yang morat-marit diobrak-abrik perampok itu. Terlihat taplak meja carut-marut ke sana kemari. Barang-barang yang ada di atasnya maupun di dalam almari kaca bersih tak tersisa.

Dilanjutkannya langkah kaki memasuki ruang garasi tempat terparkirnya Honda Jazz dan Pajero Sport kesayangan. Kedua mobil dimilikinya semenjak rumah megah  itu ditempatinya serta tiga buah sepeda motor yang berjajar rapi di belakangnya. Matanya terbelalak. Degup jantungnya semakin mengencang, langkah kakinya mulai tak sempurna, gemetar, dan seperti akan putus urat-urat nadinya. Dunia menjadi gelap seketika. Kekar bahunya tak lagi mampu menahan berat beban kepala sampai kaki. Ia seolah tak percaya dengan peristiwa yang menimpanya. Sang isteri menjerit tak terkendali begitu dilihatnya semua perhiasan miliknya hanya tinggal tempatnya. Ia tertunduk lunglai dan seketika itu juga kesadarannya menghilang. Tuan Bonar tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya cibiran dan penyesalan yang mendalam ia rasakan.

“Bangun isteriku, bangun..lihatlah aku, tataplah mataku, bukankan tatapan ini yang dulu selalu kaubanggakan dariku.  Tatapan mata ini yang membuat kita kuat, sekuat keinginan dan semangat kita untuk bersama dalam suka dan duka.”

Kejadian itu membuat lumpuh roda perekonomian keluarga Tuan Bonar, ia tak mempunyai biaya lagi untuk melanjutkan profesinya sebagai seorang rentenir. Bahkan banyak orang yang datang membawa umpatan menjijikkan dan tatapan muka garang seperti tajamnya belati yang disiap ditikam musuh kapan saja. Peristiwa itu benar-benar membuatnya terpuruk. Pembantu yang selama ini setia melayani Tuan Bonar menghilang karena ia tahu bahwa majikan yang selama ini dielu-elukan sudah tak mempunyai harta benda yang menjadikannya gelap mata.

“Isteriku, kita terpaksa harus menjual rumah ini agar kehidupan kita masih bisa berlanjut. Jika saja rumah ini terjual seharga yang kita tawarkan kita masih bisa membeli tempat lain dan sisanya untuk menyambung sisa usia kita.”

Hampir lima bulan rumah belum juga laku. Pembeli yang datang hanya menawar dengan harga jauh dari harapan. Hingga satu-satunya mobil yang selamat saat peristiwa naas itu karena disewa teman seprofesinya dengan harga yang tidak wajar akhirnya ludes bersama mengurusnya tubuh isteri yang dicintainya. Tubuh yang dulu selalu dibanggakan Tuan Bonar. Yang menemaninya gencar menjalankan aksinya memikat setiap orang yang datang padanya untuk meminjam uang.  Tuan Bonar menyambung hidup dari hasil cicilan hutang yang masih tersisa dari peminjam. Dunia gemerlap yang dulu sempat dinikmatinya kini menjauh. Ia tak kenal lagi namanya kafe, hotel, bahkan untuk sekedar ke bank pun tak pernah ia lakukan.

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Rupanya ungkapan ini tepat bagi seorang Tuan Bonar. Disaat hidupnya benar-benar tersungkur bahkan untuk membeli makan sehari-haripun ia harus berkali-kali menghitung cukup atau tidaknya. Sang isteri mendekati suaminya yang sedang duduk terpekur di tepi bekas kolam ikan beraneka warna . “Sudah dua minggu ini saya terlambat datang bulan, bidan mengatakan bahwa kita akan dikaruniai anak”, begitu isteri Tuan Bonar bertutur sambil duduk disamping suaminya.

Tuan Bonar terkejut mendengar kabar tersebut, ada seleret rasa bahagia yang membuncah memenuhi rasa hati. “Benarkah itu istriku ?” Sang istri tersenyum dan mengangguk dengan pelan. Tuan Bonar segera memeluk istrinya. Berdua mereka tenggelam dalam rasa suka dan bahagia, rasa yang selama ini telah hilang menepi dari sisi ruang hati mereka.

Rasa bahagia itu hanya sekejap memenuhi relung hati Tuan Bonar karena disaat itu pula rasa itu mulai menyurut perlahan. Entah perasaan apa itu. Dilepaskan pelukan itu sambil mengehela nafas panjang. Ia pun berkata,“ Isteriku, bagaimana perasaan ini harus kugambarkan, sementara kebingungan terus bersemayam. Perasaan senang, susah, harus tertawa, atau menangis semua seolah membelengguku. Di saat kehidupan kita benar-benar berada pada kondisi yang terpuruk dalam belitan kemiskinan seperti ini bagaimana kita bisa menghidupi anak kita setelah lahir kelak. Bagaimana kita bisa menyekolahkannya setelah ia besar sementara kita sudah tidak berpenghasilan lagi ?” tanya Tuan Bonar pada isterinya.

“Tapi suamiku, apakah kau tak ingat bagaimana susahnya kita meminta dan menghamba siang malam demi kehadiran buah hati ini untuk mewarnai dan melengkapi kehidupan? Kita jalani saja hidup ini, bukankah sisa penjualan mobil tempo hari masih bisa kita gunakan untuk hidup hingga anak kita lahir kelak?” Tuhan Maha Penyayang, Dia tidak akan menimpakan cobaan diluar kemampuan hambaNya.

Sejenak mereka berpandangan dalam kekalutan akan masa depan yang belum mereka ketahui, membiarkan angan-angan  melayang beriringan dengan ketakutan-ketakutan tentang kehidupan atau membebaskannya melenggok memenuhi arahanNya.

Kadang manusia bisa menakhlukkan egonya disaat ia berada dalam keadaan serba kekurangan, tapi disaat mempunyai kelebihan harta maka semua keinginan untuk memiliki berbagai benda muncul, bukan lagi memikirkan tentang pemenuhan kebutuhan, tapi tentang pemenuhan keinginan. Demikian juga dengan Tuan Bonar dan istrinya.

Masih dalam kehidupan yang belum berubah maka lahirlah sang bayi yang dikandung istrinya, berbulan-bulan mereka lalui dalam harap cemas akan bayangan masa depan. Kehadiran seorang bayi perempuan mungil, lucu, dan cantik sebagai pertanda awal dimulainya perubahan cerita kehidupan mereka. Kehadiran sang bayi telah memberi nafas baru bagi rumah tangga Tuan Bonar. Siang malam mereka lalui dengan bahagia bersama anak semata wayangnya

Bayi itu tumbuh menjadi anak yang lucu dan pintar. Dia besar dalam balutan kesederhanaan. Sepanjang hidupnya anak itu bebas bergaul bersama anak-anak tetangga lainnya, termasuk anak Lurahe yang ternyata telah menjadi teman akrabnya. Seolah Tuan Bonar tersadarkan dari segala yang ia alami dalam hidup ini. Anak itu mengajarkannya arti kebersamaan, kemanusiaan, dan kepekaan terhadap sesama. Rupanya Tuhan telah mengantarkan Tuan Bonar untuk lebih berpikir dua sampai tiga kali dalam benrtindak. Mempertimbangkan baik dan buruk serta pengaruhnya terhadap diri sendiri maupun orang lain. Kini Tuan Bonar banyak belajar dari cara bergaul anaknya. Namanya saja anak kecil, Ia tidak bisa mengekangnya untuk tidak keluar rumah sekedar menghabiskan waktu di dalam rumah. Tentu saja Tuan Bonar sering merasakan ketidakberdayaannya mencegah anak semata wayangnya dalam mencari teman di sekitar rumah. Tuan Bonar tak lagi terhalangi untuk berbaur dan menyatu dengan lingkungan. Anak itulah penyambung tali persaudaraan Tuan Bonar yang sama sekali belum pernah menyatu dengan lingkungan tempat tinggalnya.

Keadaan keuangan Tuan Bonar lambat laun mulai berjalan normal layaknya tetangga kanan kirinya. Tampaknya roda kehidupan Tuan Bonar perlahan bisa berputar kembali tanpa harus menunggu dikayuh. Biarpun masih dalam taraf cukup, tapi sudah bisa digunakan untuk mencukupi kebutuhan harian istri dan anaknya. Hidup Tuan Bonar tak lagi sepi. Banyak tetangga datang hanya sekadar mencari angin segar maupun berbincang sebagai teman minum kopi Tuan Bonar. Hingga dengan segala rayuan serta tipu muslihat tetangga berhasil dibujuknya agar meminjamkan uangnya untuk Tuan Bonar. Perlahan ribuan, ratusan, bahkan jutaan kembali teraup dalam genggaman Tuan Bonar.

Dunianya yang dahulu kembali muncul dalam ingatan, memilin-milin perasaan, dan akal sehatnyanya kembali terjun mengulang kebiasaan yang telah lama ditinggalkannya. Rumah megah itu kembali memunculkan gaung kehidupannya.

Rina Harwati
Guru MTs Negeri 9 Bantul, Sekretaris Bidang Humas, Informasi, dan Kerja Sama Antarlembaga Pergumapi. Tulisan ini disiarkan perama di 

Thanks for reading Cerpen: Gaung Rumah Mewah | Tags:

Next Article
« Prev Post
Previous Article
Next Post »

Related Posts

Show comments
Hide comments

2 komentar on Cerpen: Gaung Rumah Mewah