Karena Corona Pembelajaran Merana?

Mei 27, 2020
Rabu, 27 Mei 2020
Bekerja dari rumah, belajar di rumah. Gambar: Pixabay.com

Robani, S.Pd.
Anggota Perkumpulan Guru Madrasah Penulis

Pergumapi.or.id--Jagad Indonesia akhir-akhir ini akrab dengan bahasa Inggris. Tidak hanya kalangan terpelajar yang menuturkannya. Justru semua kalangan dari rakyat hingga pejabat, semua mengucapkannya. Adalah wabah Covid-19 (Corona Virus Disease 2019) menjadi pemicu memasyarakatnya istilah Lock Down, Social Distancing, Phisical Distancing, Work From Home dan sebagainya. Akselerasi penyebaran istilah tersebut begitu masif, seiring dengan masifnya wabah virus  Corona. 

Kondisi yang semakin mengkhawatirkan ini membuat pemerintah mengambil sikap untuk membuat kebijakan tanggap Corona. Diantaranya diawali dengan jaga jarak sosial (Social Distancing), Jaga jarak fisik (Phisical Distancing), hingga Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Meskipun demikian beberapa kalangan menilai pemerintah kurang cepat dalam bertindak. Namun setidaknya kebijakan yang dibuat pemerintah cukup membantu dalam menanggulangi permasalahan terkait Corona ini. Istilah asing Better Late Than Never. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Melenyapkan wabah yang sudah tanggung menjalar tidak mungkin bisa. Setidaknya memangkas mata rantai penyebarannya harus dioptimalkan. 

Dalam rangka memutus mata rantai penyebaran sang virus inilah, mau tak mau harus ada yang dikorbankan. Dan efek dari kebijakan pemerintah tersebut berimbas kepada berbagai bidang kehidupan. Tanpa kecuali bidang pendidikan pun terkena imbasnya. Sumber daya manusia di Pesantren, sekolah/madrasah dan Perguruan Tinggi “dipaksa” dikarantina. Sependek pengamatan penulis, semua sekolah/madrasah formal mengubah kebijakan dalam kegiatan belajarnya. Intinya siswa belajar di rumah. Begitu pun gurunya mengajar/ bekerja dari rumah juga. 

Berbeda dengan sekolah/ Madrasah dan perguruan tinggi. Pembelajaran di pondok pesantren lebih variatif. Ada pesantren yang santrinya dipulangkan semua ke orang tuanya, seperti di Daarut Tauhiid Bandung. Namun ada juga sebaliknya, santri tidak boleh keluar pesantren. Bahkan tidak boleh ada orang luar, termasuk orang tua yang memasuki area pesantren. Seperti yang dilakukan di Al-Bahjah Cirebon. Semua kebijakan dalam dunia pendidikan ini bermuara kepada peraturan pemerintah untuk bersatu melawan wabah corona.

Sebagai pendidik saya merasakan kondisi ini cukup berat. Bagaimana pun juga interaksi belajar mengajar secara tatap muka langsung lebih terasa ruhnya daripada jarak jauh seperti sekarang. Bercengkrama langsung dengan para siswa tidak hanya transfer ilmu semata. Namun di sana guru bisa merasakan sensasi “semangat muda” yang tersebar dari murid-muridnya. Mungkin manfaat berinteraksi dengan anak-anak muda lah yang membuat para guru kita terlihat awet muda. 

Selain itu, secara jujur saya mengakui kerapkali persoalan hidup yang dihadapi menguap hilang entah kemana, ketika berinteraksi dalam suasana proses belajar mengajar secara langsung. Dan bukan tak mungkin para siswa pun kehilangan motivator penyemangat hidup yang biasa mereka dapatkan di sekolahan. Dan masih banyak lagi segudang manfaat KBM secara langsung yang kini tengah diuji dengan kondisi. 

Namun sebagai pendidik yang dewasa di era digital kondisi darurat ini tak membuat saya kehilangan akal. Berbekal pengalaman belajar dengan mode daring di saat Pendidikan Profesi Guru (PPG) di UIN Jakarta tahun 2019 kemarin, menjadikan saya tak kehilangan arah. Saya berusaha untuk tetap berinteraksi dengan siswa via WA Grup yang disiapkan pihak sekolah. Adapun media pembelajaran yang digunakan untuk menyampaikan materi cukup bervariasi. Mulai dari Blog pribadi, Channel Youtube pribadi, Google Form, dan Google Classroom. 

Dan Alhamdulillah, menurut pengamatan saya para siswa cukup antusias belajar secara online ini. Hal ini tidak mengherankan, mengingat kebanyakan dari mereka merupakan generasi Digital Native. Yaitu mereka yang sejak lahir pun sudah akrab dengan media gadget. 

Persoalan yang sering dihadapi siswa sekolah kampung dalam kegiatan belajar di rumah (Learning at Home) ini mungkin tak jauh beda dengan yang lain. Misalnya kehabisan kuota internet, sinyal yang kurang kuat, bahkan tidak sedikit yang belum memiliki Handphone sebagai alat utama kegiatan belajar dari rumah ini. Jadi, bagaimanapun juga kondisi belajar seperti ini tidak kondusif bagi sekolah di perkampungan. 

Walau bagaimanapun juga ini adalah ujian bagi insan pendidikan. Siapkah kita dengan perubahan situasi yang tak pernah diterka sebelumnya seperti ini? Sejauh mana kreativitas pendidik dalam menyiasati kondisi zaman? Semoga secepatnya ada normalisasi keadaan . Amin. Dan yang paling penting, kita tak patah semangat dan penuh harap kepada Tuhan, Allah Swt. Yang Maha Kuasa. Jangan sampai berputus asa pada-Nya. Jangan karena ujian Corona pembelajaran jadi merana. Tetapi optimislah. Badai pasti berlalu, Corona segera sirna. Dunia pendidikan kembali merah merona. Insyaa Allah. (*)

Catatan:
Tulisan ini disertakan dalam Lomba Artikel Pergumapi 2020. Panitia tidak melakukan penyuntingan, isi sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.

Thanks for reading Karena Corona Pembelajaran Merana? | Tags:

Next Article
« Prev Post
Previous Article
Next Post »

Related Posts

Show comments
Hide comments

1 komentar on Karena Corona Pembelajaran Merana?