Cerpen: Kau Telah Berubah

Maret 04, 2018
Minggu, 04 Maret 2018
Missmuslim.nyc
M. Nukman Hamid
Anggota Pergumapi, Guru MTs Negeri 1 Yogyakarta

SORE itu langit cerah. Terlihat biru merekah. Sinar matahari sore mulai tersipu memerah. Angin persawahan berhembus sepoi saat aku dan mas Luki melintas jalan aspal dipingirnya. Kami menikmati suasana ini dengan ngobrol santai. Sesekali  kami cekikikan karena ada hal lucu yang keluar dari obrolan kami.

“Belok kiri, Mas!” ujarku pada suamiku, Mas Luki, yang tidak konsentrsi dengan jalan yang kami lewati. Selain tidak tahu jalan, ia  juga belum hafal medan. Agak kaget mas Luki dengan teguranku yang medadak. Untunglah ia sigap menguasai sepeda motor matic yang kami kendarai.

“Kita mau kemana to Din?” tanya Mas Luki penasaran dengan logat jawanya yang kental. Aku sengaja tidak memberi tahu tujuan kami jalan-jalan sore ini. Aku hanya bilang padanya untuk mengantarkanku jalan-jalan. Tujuan, dan rute jalan seratus persen aku yang tahu dan ia sengaja tak kuberitahu.

“Rahasia!” jawabku sambil mengeratkan pelukanku di pinggangnya sambil menempelkan kepalaku di punggungnya. Senang rasanya hatiku sore hari ini. Aku merasa akulah wanita yang paling beruntung di dunia ini. Aku punya suami yang pengertian, penuh kasih dan sabar. Tidak pernah ku dapati darinya kata-kata bernada tinggi apalagi kasar, yang keluar dari mulutnya. Walaupun ia sedang kesal denganku.

Kalau ia sedang marah, ia hanya diam. Aku sering dibuatnya malu jika kami sedang bersebrangan ide atau bersitegang. Aku sering dibuatnya sadar dengan sendirinya. Pernah suatu ketika aku bertanya tentang sikap diamnya saat marah, ia menjawab bahwa marah itu bisa menular. Cara menghindarinya hanya ada dua. Pertama  dengan segera menyingkir dan menjauh dari orang yang sedang marah-marah dan yang kedua, jika kuat, dengan cara diam namun selalu zikir atau baca sholawat.

Aku sering mencoba mempraktikkan tips ini pada diriku. Susah banget awalnya. Namun lama kelaman berkurang rasa susah itu. Misalnya saja saat aku merasa jengkel dengan polah tingkah anak anakku, aku beusaha maksimal untuk tidak segera marah. Menghindari kata-kata kasar. Aku menahannya dengan cara diam terebih dahulu. Sambil menyingkir, aku ambil air wudhu. Baru setelah mulai reda, kudatangi dan kudekap anak-anakku dan berbicara dengan mereka dengan hati.

Seperti halnya sore ini, kudekap suamiku erat-erat, karena ada rasa pada diriku. Rasa yang sulit aku terjemahkan.  Dekapanku seperti luapan segala rasa yang sesak di dadaku. Walaupun jalan yang kami lewati penuh dengn lubang, aku merasa nyaman.

Aku merasakan semilir angin sawah menambah suasana hatiku makin luluh terenyuh oleh sebuah rasa pada mas Luki.

“Auuuhhhh..!” teriakku. Aku terkejut karena motor yang kami tumpangi menabak sebuah lubang jalan yang cukup dalam. Membuyarkan lamunanku. Refleks, kueratkan dekapanku di pingang Mas Luki.

Kami tertawa bersama.

“Maaf, Din, sengaja kali..!” kalimat suamiku sambil tertawa renyah. Aku geblek geblek punggungya dengan telapak kiriku sambil manyun-manyun sayang.

“Awas, Mas, depan belok kanan, pertigaan yang ada kuburannya,” instruksiku pada Mas Luki. Ia mengikuti aba-abaku. Sejauh ini Mas Luki masih belum tahu tujuan yang kami tuju. Ia masih telihat biasa-biasa saja tak ada raut penasaran di wajahnya. Ia tetap tenang. Ketenangan dalam besikap inilah yang selalu membuatku selalu sayang sama Mas Luki. Aku selalu tertantang untuk menaklukan hatinya.

Setelah melewati kuburan dan beberapa jalan berkelok, sampailah kami pada sebuah perkampungan. Di sinilah tujuanku jalan-jalan. Aku merencanakan bertemu dengan teman bisnisku, aku belum pernah bertemu sebelumnya. Kami berkomunikasi dan berinteraksi melalui media sosial. Kami bertransaksi secara online. Kami berkenalan dan semakin hari pertemanan kami semakin dekat, hingga kami sering curhat di media tersebut. Dari curhatan-curhatan itu, aku tahu bahwa teman bisnisku ini, dulu adalah teman dekatnya suamiku. Partner suamiku dalam setiap kegiatan OSIS di SMA-nya. Mereka sama-sama anggota OSIS. Walaupn beda tingkat, namun mereka akrab dan dekat. Tidak jarang mereka dapat ledekan dari teman lain karena kedekatannya.

Aku tahu semua itu dari cerita teman bisnisku ini. Ia tak tahu kalau orang yang ia ceritakan itu sekarang menjadi suamiku. Kesimpulanku, dulu ia menaruh rasa simpati terhadap Mas Luki. Ada cemburu di hatiku. Aku takut kehilangan Mas luki. Aku tak siap untuk berpisah dengannya. Aku  tak kuasa ditinggalkannya.

Pikiran buruk seperti itu terus menggelayuti benakku saat itu. Bahkan hingga sore ini. Tapi aku bulatkan tekad, kutenangkan hatiku. Aku diam-diam merencanakan bertemu dengan teman bisnisku sekaligus teman SMA suamiku. Kusiap-siapkan diriku terhadap apa yang akan kulihat dari pertemuan mereka.

Sebenarnya aku takut, tapi aku juga ingin tahu apa yang akan tejadi. Kadang aku merasa bersalah dengan rencanaku ini. Tapi biarlah. Aku hanya ingin membuktikan dugaan perasaanku, cemburu.

“Kanan jalan berhenti, Mas. Masuk di pekarangan yang ada mobil merah itu Mas," instruksiku sama Mas Luki. Aku tahu lokasi rumah temanku ini melalui maps yang dikirimkan temanku beberapa hari lalu. Kepelajari betul arah dan lokasinya. Hingga aku benar-benar hafal dan bisa memetakanya dalam kepalaku. Tak kukabari temanku sebelumnya. Aku ingin diriya surprise.

Kami turun dan masuk pekarangan rumahnya. Halamannya luas. Ada pohon rambutan besar yang merindangi halaman itu. Kami menikmati suasana perkampungan yang damai. Tak banyak kebisingan.

Kami berjalan masuk medekati rumah.

“Haiiiii, Mbak Dina!” tiba tiba ada suara yang memanggilku. Kami menghentikan langkah. Dan muncullah temanku dari samping rumah. Bersama suami dan dua anaknya. Sedang menyapu rupanya. Di tangan mereka masih tergenggam sapu dan serok sampah. Aku dihampiri, disalami, dan dipersilakannya duduk. Sepertinya temanku belum menyadari dengan siapa aku datang. Setelah kami duduk, barulah ia mulai sadar. Ia melihat ke arah Mas Luki. Sambil menunjuk dengan jari telunjuknya ia bilang dengan suara tercekat ditenggorokan, “Ini mas Luki? Benarkan?” kuperhatikan pertunjukan ini. Kunikmati suasana ini. Dag dig dug dadaku. Was-was hatiku dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku mulai merasakan cemburu datang menghampiri. Tapi aku masih bisa menguasai diri. Aku diam.

Mas Luki tersenyum, ia terlihat tenang. Tidak menampakkan keterkejutannya sebagaimana temanku, Mbak Mida. “Iya, aku Luki kakak kelasmu di SMA, agak lupa ya Da?" jawab suamiku mencairkan ekspresi Mbak Mida yang surprise.

Tak lama kemudian, berlangsunglah percakapan yang hangat dan renyah. Maklumlah dua teman yang sudah bertahun-tahun tak bertemu, tiba-tiba  berjumpa dengan ketidaksengajaan. Kebayang, kan, bagaimana renyahnya percakapan dan perbincangan mereka?

Yang kutakutkan terjadi. Aku hampir tak bisa menguasai diri, aku terbakar api cemburu. Cemburu karena aku sudah punya prasangka bahwa dulu mereka pernah ada rasa, juga cemburu karena aku sekarang tak kuasa mendengar percakapan dan melihat tatapan mata Mbak Mida yang berbinar-binar. Hatiku panas, dadaku mulai sesak.

Walaupun aku tak yakin seratus persen tentang kebenaran dugaanku, aku tetap cemburu. Sesekali saja aku memotong percakapan mereka. Aku selesiakan bicara bisnisku dengan mlMbak Mida lalu membiarkan mereka melanjutkan perbincangan hingga beberapa saat sampai akhirnya aku mengajak Mas Luki pamit. Kami pulang.

Aku tetap berusaha menguasai perasaanku. Mas Luki tetap tenang. Aku selalu mencoba menggodanya tentang Mbak Mida. Namun lagi-lagi mas Luki menjawabnya dengan tenang dan senyum senyum saja. Senyum yang kuartikan dengan berjuta makna.

Sehari setelah pertemuaku dengan Mbak Mida, kusempatkan aku mengirim pesan padanya.

“Hai, kemaren terkejut, ya?” tanyaku

“Iya, Mbak Dina, surprise buatku. Seneng banget aku!” balasnya. Mak Jleeb di dadaku. Berkaca-kaca aku mebacanya. Cemburuku makin membara.

“Senengnya ketemu mantan?” tanyaku berikutnya, benada menggoda.

“Ya senenglah Mbak, tapi bener kok, Mas Luki itu bukan mantan, ia bagiku sudah seperti kakak atau saudara, Mbak,” jawabnya

“Mengakui sajalah Mbak Mida. Gak apa-apa kok,” sanggahku pada Mbak Mida dengan perasaan yang penuh emosi. Aku mulai jengkel dan marah.

Lama ia tak mebalas pesanku. Mungkin ia merasakan gejolak yang tejadi padaku. Aku menunggu balasanya. Dan barulah menjelang tengah hari, ia mengirimkan pesan lagi.

“Maaf, ya Mbak Dina, mungkin ada dari perilakuku yang tak berkenan," pesan Mbak Mida. Segera kubalas, “Nggak papa, bisnis tetap bisns, kawan tetap kawan."

Aku letakkan smartphoneku, aku terisak. Cukup lama. Hingga Mas Luki masuk kamardl dan mendapatiku terisak.

Ia rengku pundakku. Ia memelukku dan mengecup keningku, “Ada apa, Din?” tanya Mas Luki.

Aku diam tak menjawab. Ditanya lagi dan lagi, aku tak menjawab. Hanya pelukanku saja yang makin kueratkan.

Ia tak tanya lagi. Ia mengeratkan pelukannya. Kami berpelukan cukup lama. Hingga aku mereda dalam isakku. Tapi, aku tetap diam. Bahkan dihari berikutnya, setiap aku bertemu Mas Luki, aku tak kuasa. Maka aku meyingkir dulu. Aku megambil air wudhu dan aku menghampirinya.

Ini terjadi beberapa hari hingga hari ketiga. Setelah isya, ketka aku menyiapkan tempat tidur, Mas Luki yag sedang duduk d iruang baca membuka smatphoneku. Dan ia tersenyum padaku. Aku tahu pasti ia membaca chatku dengan Mbak Mida. Aku lari menghambukan diri kepadanya. Aku terisak lagi, “Aku cemuru, Mas. Aku cemburu dengan Mbak Mida. Aku takut Mas Luki meninggalkanku,” kalimat yamg keluar tak jelas di tengah isak tangisku.

Mas Luki membimbingku ke tempat tidur untuk lebih tenang. Ia mempererat pelukannya. Dan aku makin menjadi dengan luapan emosiku. Campuran antara cemburu dan marah. Ia tenang, tak banyak bicara. Namun, pelukannya makin erat dan makin menghangat. Air mataku sudah tak terbendung,  Hangat mengalir di pipiku. Aku terisak dalam dekapannya.

“Aku cemburu, Mas. Aku marah. Dan aku tak kuasa melampiaskan amarahku, Mas”. Kalimatku sambil terus terisak-isak.

“Kau telah berubah, Din. Kau telah berubah!”

Aku terkejut dengan kalimat Mas Luki. Kalimat itu terucap dari mulutnya sambil tiba-tiba melepas pelukannya yang kurasakan mendamaikan. Aku terkejaut. Aku lihat raut muka Mas Luki sudah tak setenang biasanya. Aku khawatir. Aku takut Mas Luki  berubah. Aku takut Mas Luki akan meninggalkanku.

“Maaf, Mas Luki, maafkan aku. Jangan tinggalkan aku, Mas," aku mengiba.

Mas Luki menatapku tajam. Ia memegang pundakku erat erat. Aku tertunduk. Isak tangisku makin dalam. Cukup  lama Suasana ini menggelayuti kami. Hingga akhirnya Mas Luki bersuara.

 “Kau telah berubah, Din. Kau telah berubah!”

Kalimat Mas Luki dengan nada yang berat. Aku makin kaget. Pikiranku tak menentu. Aku makin takut, ketakutanku akan terjadi. Mas Luki mengulangi kalimatnya. Sambil membisikkan di telingaku.

“Kau telah berubah, Din. Kau sudah tak seperti dulu. Kau dulu, setiap kali marah,  meluap-luap, tak bisa menahan amarah. Dan sekarang, beberapa hari ini, aku tahu kau telah berubah. Kau  bisa menahan amarahmu. Aku sadar, kau marah bererapa hari ini. Kau mungkin cemburu dengan Mida. Tapi kau bisa menahan amarahmu. Kau telah berubah."

Lega hatiku mendengarkan kalimat Mas Luki, aku kira ia marah, dan akan menjadi pertengkaran. Tapi ternyata tidak. Ia tetap tenang. Menghangatkan dan menenangkan perasaanku. Kubaringkan tubuhku, kusandarkan kepalaku di dadanya. Masih terisak sesekali. Ia membelai-belai kepalaku. Damai terasa. Aku senang aku telah berubah dan ia tak berubah. Tak terasa mataku mulai terlelap. Hingga suara kruyuk ayam jantan membangunkan tidur kami. (*)

Thanks for reading Cerpen: Kau Telah Berubah | Tags:

Next Article
« Prev Post
Previous Article
Next Post »

Related Posts

Show comments
Hide comments

0 komentar on Cerpen: Kau Telah Berubah

Posting Komentar