Cerpen: Wanita Pilihan

Juni 10, 2018
Minggu, 10 Juni 2018

Oleh Lilis Ummi Faiezah

ANGGIT duduk termenung di teras rumahnya sore itu. Dibiarkannya teh panas buatan Asih istrinya hingga dingin. Sekelompok semut sudah mulai merayap mendekati gelas itu karena tergoda dengan aroma manisnya. Sepiring ondeonde panas kesukaan Anggit pun sudah mulai tak empuk lagi. Pikirannya mengembara. Ingatannya kembali pada pertemuan tidak sengaja dengan Mayasari, wanita cantik mantan pacarnya di bangku kuliah dulu. Pertemuan itu berawal ketika Anggit mengikuti workshop yang diselenggarakan oleh kantornya, sebuah bank swasta yang terkenal, tentang Upaya Penyehatan Perbankan. Di sana Mayasari menjadi pembicara tunggal. Sudah hampir 15 tahun Mayasari tak pernah lagi disebutnya walau masih ada sebersit kenangan yang terus ia simpan dalam hati.

Siang itu Anggit terpaku saat mengetahui wanita yang tengah berbicara di forum itu adalah Mayasari. Lama Anggit tertegun, pikirannya hanya terpaku pada sosok yang dulu sangat dikenalnya. "Ibu Maya itu smart banget, ya. Cantik pula. Ulasannya benar-benar brilian," Mustofa yang duduk di depannya memuji Mayasari. "Mus, loe kan bujang. Samperin aje, barangkali dia juga masih sendiri. Daripada loe merem-melek begitu," Rico tertawa terkekeh-kekeh di samping Mustofa.

"Ngawur kamu, mana ada doktor lulusan Amerika yang mau sama master dalam negeri macam aku. Nguber Atika aja ditolak, apalagi ... ah kejauhan kamu." Keduanya kemudian tertawa lagi menyadari banyolan itu. Tak terasa ada sedikit perasaan cemburu di hati Anggit, tapi ia kemudian cepat menyadari, tak ada haknya sedikit pun untuk cemburu. Sore itu Anggit terus saja terbawa oleh lamunannya. Senja yang semakin turun tidak juga mengalihkan pikirannya akan Mayasari. Alunan azan merdu dari televisi di dalam rumahnya pun tidak membuatnya beranjak dari tempat duduknya. "Mas sudah Maghrib tuh. Tolong bawain gelas dan piringnya masuk ya," suara Asih dari dalam rumah. "Mas! Kok bengong sih!" ulang Asih lagi. "Ya, ya," jawab Anggit singkat. Anggit lalu beranjak dan masuk.

Hari kedua penampilan Mayasari kembali memunculkan kenangan indahnya dengan wanita cantik yang urung menjadi belahan jiwanya karena penolakan ibunya. Ibunya yang masih kental adat kejawennya menilai Maya adalah wanita modern yang jauh dari tata krama. "Perempuan kok rambutnya pendek. Makan juga pakai tangan kiri," kata ibunya waktu itu. "Dia itu kidal Bu, jadi makan, nulis apa aja pakai tangan kiri. Sudah dari sananya," kata Anggit berusaha membela. "Ya nggak. Itu salah orang tuanya nggak membiasakan makan pakai tangan kanan."

Percuma memang membantah kata-kata ibunya. Selama ini kata-kata ibunya merupakan titah yang tak terbantah untuknya. Apalagi dia adalah anak tuggal, tempat ibunya menggantungkan masa tuanya. Itu berarti ia harus mencari istri yang disukai ibunya. Ketika ibunya memperkenalkan Asih, anak kenalan ibunya, Anggit setuju saja. "Ibu bisa mati cepat kalau kamu kawin dengan wanita itu, Anggit. Firasat ibu mengatakan begitu. Terserah kalau kamu pengen lihat ibu mati cepat," selalu itu senjata yang ibunya ucapkan setiap disinggung soal Maya.

Ternyata pikiran Anggit tak senyaman ruangan ber-AC di kantornya itu. Hanya sebagian saja ulasan Mayasari yang mengendap di otaknya. Pikirannya asyik berlarian kesana-kemari membangkitkan kembali kenangan bersama Maya dulu. Tak terasa Anggit kemudian membandingkan Mayasari dengan sosok istrinya, Asih. Asih yang sederhana itu adalah seorang guru sebuah madrasah di dekat rumahnya. Asih yang polos dan penurut. Asih yang sangat sayang dan mengerti keinginan ibu mertuanya. Asih yang selalu mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan mengurus kedua putrinya.

Anggit jarang menceritakan masalah kantornya kepada Asih karena menurut Anggit wanita itu terlalu polos untuk mengimbangi jalan pikirannya. Pernah Anggit menceritakan hal-hal pelik masalah kantornya, Asih hanya duduk terpaku menyimak setiap kalimat yang meluncur dari bibir Anggit, tanpa merespons atau memberi solusi. "Sudahlah Mas, yang sabar. Orang sabar di sayang Tuhan. Jangan bertindak gegabah ya," kata Asih. Ucapan standar yang keluar dari mulut setiap orang. Kemunculan Maya di hadapannya sejenak membuat keberadaan Asih terabaikan. Yang ada justru bayangan-bayangan Maya yang elegan dengan sejuta prestasinya. Seribu kata andai bermunculan di benak Anggit. Seandainya ia menjadi istriku.

Pertemuan selanjutnya mereka lakukan di restoran Siomay Mang Udin, restoran favorit mereka sejak dulu.."Kamu masih ingat makanan kesukaanku?" tanya Maya. "Ya, makanan kesukaanmu juga kesukaanku kan? Jadinya aku masih sering ke sini," jawab Anggit berbohong. Semenjak beristrikan Asih, Anggit jarang sekali makan di luar karena Asih pandai memasak. "Dengan istrimu?" Selidik Maya lagi. "Nggak, dia orang rumahan yang nggak suka keluar rumah, apalagi ke restoran," Anggit berbohong lagi. Hampir tidak pernah dia mengajak Asih keluar rumah. Malam itu waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Biasanya Anggit sudah sampai rumah. Ah, pastilah ada rapat di kantor, batin Asih. Asih tidak pernah membebani pikirannya dengan bayangan negatif tentang suaminya.

"Rumahmu bersih sekali, Maya," kata Anggit ketika mengantar pulang Maya. "Rumah baru sih. Entar kalo udah lama ya nggak bersih lagi. Kan aku baru pindah dua bulan," jawab Maya. "Sendiri?" tanya Anggit lagi. "Emang sama siapa? Aku udah cerai sama suamiku. Makanya aku pindah ke kota ini. Cari suasana baru." Bayangan Anggit menerawang jauh. Ia membayangkan mantan suami Maya orang bodoh yang telah melepaskan seekor merpati sempurna yang diburu banyak pemuda, termasuk dirinya. "Kau pasti sedang membayangkan kenapa aku bercerai dari suamiku," kata-kata Maya mengejutkan Anggit. Seketika lamunan Anggit buyar.

"Ah ... nggak kok," kata Anggit berpura-pura. "Bohong kamu. Itulah lelaki ... suka bohong." "Suamimu dulu tega membohongimu, Maya? Dia selingkuh?" Anggit tak sadar kalau dirinya kini ingin tahu persoalan Maya.

"Tidak, bukan selingkuh," kata Maya sambil menarik napas dalam. "Dulu, waktu pacaran kami berkomitmen untuk hidup sendiri dan mandiri. Punya anak tidak jadi target utama perkawinan kami. Tapi, setelah setahun perkawinan kami, suamiku mulai menuntutku punya anak. Katanya, anak untuk penerus dan pengurus kami di masa tua. Bahkan, suamiku memohon aku mengizinkan orang tuanya tinggal bersama kami karena tidak ada lagi yang mengurusnya. Bayangkan, betapa repotnya aku. Bagaimana dengan karierku."

"Aku minta suamiku itu menitipkan orang tuanya ke panti jompo saja. Toh malah lebih terurus. Lebih baik kehilangan uang untuk membayar panti jompo daripada menambah beban pikiran. Entah kenapa suamiku berubah pikiran melanggar komitmennya. Aku ini wanita mandiri dan bebas. Akhirnya kami sering bertengkar hebat dan sepakat untuk mengakhiri rumah tangga itu." Pandangan Maya kosong. Sesekali asap rokok mengepul dari bibirnya yang bergincu tipis.

Anggit yang sejak tadi serius mendengarkan cerita Maya menjadi bergidik. Duduknya tak lagi enak. Tenggorokannya menjadi kering. Cerita yang tadi keluar dari bibir yang dulu ia kagumi menjadi begitu menyesakkan dadanya. Tanpa disadarinya pikirannya menerawang ke ibunya.

Cerita Maya tentang rumah jompo sangat mengganggu pikirannya. Bagi sebagian orang, menghabiskan usia tua di rumah jompo adalah hal biasa. Itu pula yang dilakukan oleh orang-orang di negara maju. Tapi, bagi ibu Anggit yang orang Jawa yang kental dengan budaya Jawanya, memikirkan rumah jompo pun tidak pernah. Hidup besama keluargalah yang utama. Tiba-tiba saja Anggit teringat Asih istrinya, anak-anaknya, dan juga ibunya. Tiba-tiba ia ingin segera pulang. Tiba-tiba pula ia menyadari bahwa ibunya benar. Asih, wanita pilihan ibunya itu kini terasa sangat ideal di matanya. "Asih aku kangen kamu," kata Anggit lirih, hampir tak terdengar. Bergegas Anggit pamit dan meninggalkan Maya yang berdiri tertegun tak mengerti. Tujuan Anggit hanya satu yaitu segera bertemu Asih istrinya. Asih, wanita ideal pilihan ibunya. (*)

Lilis Ummi Faiezah adalah Master of Arts lulusan Curtin University yang saat ini menjadi guru bahasa Inggris di MTs Negeri 6 Sleman. Cerita pendek ini dipublikasikan pertama kali di Harian Republika edisi 2 Agustus 2009.

Thanks for reading Cerpen: Wanita Pilihan | Tags:

Next Article
« Prev Post
Previous Article
Next Post »

Related Posts

Show comments
Hide comments

1 komentar on Cerpen: Wanita Pilihan