Cerpen: Amplop Biru

Maret 11, 2018
Minggu, 11 Maret 2018
Freepik.com
M. Nukman Hamid
Anggota Pergumapi, Guru MTs Negeri 1 Yogyakarta

SEPERTI hari-hari sebelumnya, saat bel  istirahat berbunyi, aku segera bergegas keluar kelas. Satu tempat yang menjadi tujuanku sekaligus tempat favoritku, toilet. Ke sanalah maksud langkah gegasku. Tempat ini memang menjadi target pertamaku saat bel berdering. Aku tak mau ada teman lain yang mendahuluiku. Harus menunggu, dan itu membuang buang-waktu.

Baru setelah hajatku terpenuhi, kulanjutkan langkahku menuju tempat paling istimewa, ruang pojok perpustakaan sekolah. Aku selalu menyempatkan pergi ke perpustakaan. Di sana, aku bisa memilih-milih buku sepuasku lalu kubaca. Segera  kucatat hal yang menarik darinya dalam binder yang selalu kusiapkan. Aku menikmati rutinitasku ini. Sederhana saja alasanku mengapa aku bersemangat untuk ke perpustakaan, karena aku ingin mempunyai hidup yang lebih lama.

Bagaimana tak hidup lebih lama dan lebih panjang? “Siapapun ia, jika mempunyai hobi membaca dan menulis, maka otaknya tak mati.” Demikian kata-kata Pak Muel, Guru ku yang juga rajin membaca dan menulis, disela-sela pelajaran. “Jika otaknya tak mati, berarti ia terhindar dari kepikunan. Orang yang hidupnya terbebas dari kepikunan berarti ia lebih bisa menikmati dan memaknai hidup. Lihatlah karya para ulama, walaupun ia sudah tiada beratus-ratus tahun lalu, tapi buah hidup otaknya masih selalu dinikmati hingga generasi berikutnya,” lanjut Pak Muel penuh semangat. Dan kalimat dari beliau inilah yang mendasari alasanku menjadikan perpustakaan menjadi tempat paling  istimewa.

Namun hari ini, rutinitasku tak berjalan seperti biasa, ketika aku berjalan baru beberapa langkah dari pintu kelas, perhatianku teralih pada suara yang memanggil namaku. Aku sangat mengenal suara itu.

"Diman, kemarilah, menghadap Ibu sebentar!" panggil bu Lily. Beliau sering memanggilku menggunakan penggilan pendek itu. Padahal, namaku cukup keren dan penuh arti, Dinan Kayyiman. Entah dari mana asalnya, teman-teman dan guruku menjadikan “Diman” sebagai panggilanku. Aku enjoy saja dengan semua itu. Tak begitu penting.

Mendengar ada yang memanggil, aku menoleh ke arah sumber suara. Aku melihat Bu Lily bersandar disudut pintu ruang guru. Sepertinya Bu Lily sudah mengungguku agak lama. Aku segera mendekat. Berdesir hatiku ketika aku melihat amplop warna biru yang ada di tangannya.

Ada rasa khawatir sekaligus senang dengan amplop itu. Apa anggapan Bu Lily terhadapku? Apakah beliau akan mengira aku sedang menjalin sebuah hubungan? Apakah beliau akan menyidangku seperti teman-teman yang lain, yang berpacaran? Ahhh… biarlah, yang jelas aku tidak demikian!

Aku hafal dari siapa dan untuk siapa amplop biru itu. Benda itu adalah berisi tulisan-tulisan dari Tya, teman sekelasku yang pindah sekolah ke daerah asalnya, sebuah pulau nan jauh di sana dan tentu amplop itu ditujukan kepadaku.

Aku dan Tya sering berkirim tulisan, seminggu sekali bahkan. Aku suka menulis dan membaca, begitupun dengan Tya. Maka semenjak kepindahannya, kami sering bertukar tulisan agar tetap terjalin silaturrahmi dan sekaligus menjadi media menyuburkan dan menghidupkan otak kami. Selain itu juga karena kami mempunyai alasan yang sama yaitu “Pengamal Teori Muel”, sebutan kami untuk teori Pak Muel tentang “otak yang tak mati”.

Tya mengalamatkan amplopnya dengan alamat sekolah adalah suatu kesengajaan Sengaja agar cepat sampai tujuan. Biasanya, seminggu sekali aku selalu menengok keranjang yang berada di ruang TU, dan amplop itu tergeletak damai di sana. Tapi hari ini aku tak tenang, tanda tanyaku begitu besar, mengapa amplop itu tidak di keranjang? Tidak di kantor TU? Tetapi berada di tangan Bu Lily. Aduh... perasaanku mulai tidak enak. Malu.

Rasa damai yang biasanya muncul ketika berbicara dengan Bu Lily, hari ini tak ada. Berganti dengan rasa tidak nyaman.

"Bukan kok Bu, saya  bukan pacarnya dan saya tidak sedang surat-suratan," jawabku gugup, bahkan sebelum aku ditanya.

Beliau hanya tersenyum lalu menyerahkan amplop biru itu kepadaku dan berbicara pelan, “Suatu saat tak hanya Tya yang akan membaca,” lalu  tersenyum, membuatku makin salah tingkah, tak karuan.

Beliau memang salah satu guru yang cukup disegani siswa. Memiliki kepribadian yang menarik dan supel. Bahasa lisannya sama bagusnya dengan bahasa tulis. Menarik sekali. Mungkin itulah yang menyebabkan kami, para siswanya, merasa segan sekaligus dekat dengan beliau.

Setelah menerima amplop itu, aku segera pamit, aku tidak ingin ditanya-tanya Bu Lily dengan pertanyaan yang lebih banyak lagi tentang pacaran atau sejenisnya sebagaimana teman temanku. Aku tak ingin hal itu menimpaku.

Semenjak kejadian itu, aku menghindari bertemu dengan Bu Lily. Kubatasi interaksi dengan beliau bahkan saaat belajar di kelas. Dan sejak itu pula aku jarang berkirim tulisan dengan Tya. Hingga bertahun-tahun setelahnya, bahkan hingga aku selesai kuliah. Aku benar benar sudah tidak mengetahui kabar dan perkembangan keadaannya. Acuh dan tak berusaha mencari tahu. Kejadian tersebut sudah berlalu dan terkubur dalam. Sudah hanyut dalam gelombang kehidupan dan tersapu dari latar memori yang membentang. Lupa. Hanya takdir Sang Pencipta lah yang akan berbicara atas  ahwal yang berubah.

Dan tidak kusadari, kesibukanku sore ini diperhatikan oleh sesorang yang sudah berdiri di pintu. Aku dikejutkan oleh suara khas yang amat sangat ku kenal, memanggilku. Ada rasa yang menyisir hamparan hatiku. Tak seperti biasanya. Agak berdegup jantungku.

"Mas Diman, ada kiriman," aku menghentikan aktivitas membacaku. Aku menoleh ke sumber suara. Di sudut pintu ruanganku, telah berdiri sosok yang amat kukenal. Keibuan, berpenampilan menarik dan supel, Tya, ibu dari anak-anakku. Berdesir aku melihatnya. Teringat kejadian di sudut ruang guru bersama bu Lily. Desiran di dadaku semakin terasa mengiris manakala aku melihat amplop biru yang dibawanya.

Ia tersenyum. Aku membalas senyumnya. Kali ini aku bisa mengartikan senyumannya. Senyuman yang sudah sangat sering disunggingkan untukku. Untuk sebuah ekspresi rasa syukur. Seperti halnya sore ini, kudapatkan amplop biru yang sudah lama kunanti. Amplop dari seseorang yang beberapa waktu lalu telah menghubungiku untuk sebuah tulisan yang sebentar lagi akan bisa dibaca oleh banyak orang. Amplop biru yang menjadi simbol dari apresiasi jerih payah seorang penulis.

Segera kuraih tangannya, lalu kuajak ia untuk duduk bareng, mensyukuri nikmat yang kami peroleh sore ini. Kami tersenyum bahagia sembari berhamdalah atas nikmat yang kami terima.

Nikmat Tuhanmu manakah yang engkau dustakan? (*)

Thanks for reading Cerpen: Amplop Biru | Tags:

Next Article
« Prev Post
Previous Article
Next Post »

Related Posts

Show comments
Hide comments

0 komentar on Cerpen: Amplop Biru

Posting Komentar