Mengenang Kembali Kejayaan Budaya Islam melalui Novel

Februari 09, 2018
Jumat, 09 Februari 2018
@rizkymirgawati
Judul : Reem
Penulis : Sinta Yudisia
Penerbit : Mizan
Cetakan : Pertama, Agustus 2017
Tebal : 350 halaman
ISBN : 978-602-6716-11-8

Saat berada di Benteng Oudaya, Reem membayangkan di hadapannya ada seorang pemuda, yang lolos dari pembantaian Rusafa, Damaskus, kemudian melarikan diri jauh hingga ke semenanjung Iberia. Dialah Abdurrahman. Rasa sakit, kesepian, kesunyian, kerinduan pada kampung halaman, serta dahsyatnya kematian menyalakan kobar api kehidupan dalam dirinya. Abdurrahman membangun suatu sudut yang pada akhirnya dikenal sebagai Ornament of the Word, perhiasan dunia. Demikianlah, Cordoba atau Qurtubah, dengan ciri khas air mengalir serta perpustakaan menjadi permata dunia Islam yang indah selain Damaskus dan Baghdad.

Maroko dan Spanyol, terhubung oleh perbatasan. Terikat oleh sejarah. Terjalin oleh darah pengelana yang melintas di atasnya. Tersambung oleh ingatan-ingatan serta harapan indah bahwa suatu masa, Andalusia pernah menjadi mercusuar dunia dan akan tetap menjadi permata untuk selamanya (halaman 289).

Reem Radhwa, perempuan cantik berdarah Palestina-Indonesa adalah seorang mahasiswa studi sejarah. Pada suatu Aksi Palestina di Gedung Parlemen Maroko, Reem membacakan puisi tentang Nasihat Seorang Ibu untuk anak-anak Palestina. Hadirin terpana dan terpesona terpana, tak kecuali Kasim, pemuda Indonesia yang sedang menempuh kuliah di Maroko. Untuk tugas akhir, Kasim membuat kajian tentang trauma terhadap perkembangan budaya dan linguistik pada masyarakat korban perang. Reem pun diburunya untuk menjadi salah satu subjek penelitian.

Perkenalan keduanya membawa pada diskusi panjang lebar seputar filosofi hidup, sejarah, dan Palestina. Hati kasim bergetar sejak pertemuan pertama. Reem yang mempunyai jiwa seni, lihai menulis dan pandai melukis. Rem yang sangat cerdas, tenang, sekaligus pemberani, bahkan telah hafal al Quran sejak usia 11 tahun.

Cerita novel ini memang sangat romantis. Namun bukan kekedar roman picisan. Kisah romantis yang dibalut nilai sejarah. Sarat pengetahuan tentang kejayaan kebudayaan Islam di masa lampau. Ceritanya sesekali ditingkahi kisah lucu Alya, adik Kasim dan Ilham sahabat karibnya.

Perjalanan cinta mereka tidaklah mulus. dr Maher, ayah Reem sejak awal memberikan penolakan secara tegas. Kasim dilarang mendekati Reem yang hanya akan mengingatkan Reem tentang Palestina. Padahal dr. Maher sendiri masih belum menerima kepergian istrinya yang begitu cepat di Palestina.

Masalah tak kalah pelik ketika Karim dan Alya diminta secara tiba-tiba oleh orang tuanya untuk pulang kembali ke Indonesia. Karim ternyata dijodohkan dengan Alya yang ternyata bukan adik kandungnya demi menyelamatkan perusahaan. Masalah meruncing ketika Ilham merasa Karim telah membohonginya, padahal Karim tahu pasti bahwa Ilham menyukai Alya bahkan hendak dilamar.

Sementara itu, Reem berjuang dengan penyakit kanker rahim yang dideritanya. Kesehatannya memburuk, hingga akhirnya rahim Reem diangkat. Reem kuat menjalani hari-hari beratnya dengan lebih sering shalat dan berinteraksi dengan Al Quran. Namun ada yang hilang di hati Reem. Bayang Kasim selalu hadir. “Pertemuan kita adalah anugerah. Dan, aku bersyukur, memiliki kebijaksanaan lebih dalam memandang kehidupan. Juga, kematian. Sungguh, Izrail menyapa seseorang bukan berdasar usia atau penyakitnya,” (halaman 349).

Pada sebuah titik, dr Maher tahu, bahwa Reem membutuhkan seseorang untuk menguatkannya. Seseorang yang sama-sama mencintai Palestina. Pembaca pasti akan penasaran dengan ending cerita ini.

Sinta Yudisia sangat piawai dalam melukiskan detail latar, tidak sekedar tempelan. “Gedung Parlemen Maroko terletak di Rabat, tepat di tengah jalan kembar Muhammad Khamis. Bangunan utama didominasi warna cokelat kuning emas, dengan pilar-pilar tinggi warn asenada. Aksen merah menyala menghiasi dinding bangunan, tegas dan berani. Bangunan lantai dua memiliki tujuh jendela bersar di lantai atas dengan tirai putih mutiara tersibak. Tiga bendera merah Maroko berkibar gagah: satu di atap, dua di sisi kiri dan kanan jalan setapak. Lambang bintang di tengah berwarna hinjau tua, bersudut lima membentuk pentagram (halaman 25). Tak ayal lagi karena penulisnya pernah ke sana.

Saat menggambarkan bangunan kampus, “Bata kuning berpadu pualam yang dipahat dengan pola berukir, pilar kembar di kanan dan kiri. pintu masuk kayu, berbentuk anyaman seperti motif pada permadani Beni Ourain, menempel pada kaca-kaca hingga cahaya tetap berlimpah masuk. Lentera besi penuh ornamen tergantung cantik di tepi dinding (halaman 60).

Pembaca juga akan dimanjakan dengan paparan tentang Fez. Kota ini memiliki 5617 lorong. Dulu lorong-lorong ini merupakan jalan rahasia. Bangunan-bangunan menjulang, terhubung dengan lorong-lorong, pintu raksasa dan dinding beton. Pilar, minaret, kubah, zillij, masih tetap dipertahakan pada bangunan madrasah yang menyerupai museum. Menyiratkan pesan bahwa dahulu kala, para pelajar madrasah bukan hanya digembleng keras menimba ilmu serta menghasilkan tulisan, tetapi juga dihibur oleh keindahan arsitektur di area belajar dan area ibadah.

Novel ini juga bertabur istlah Maroko yang akan memperkaya wawasan pembaca. Sebut saja karmush, rubu’dijaj, zillij, djellaba, briwat, libzar, skinjbir, riad.  Selain juga bahasa Perancis karena memang banyak Masyarakat Maroko menggunakannya. Sebuah novel romantis berbalut sejarah yang cocok di baca oleh siapa saja.

Yeti Islamawati, Guru MTs 9 Bantul, Anggota Pergumapi
Disiarkan pertama kali di Kabar Madura, 11 Desember 2017 halaman 6.

Thanks for reading Mengenang Kembali Kejayaan Budaya Islam melalui Novel | Tags:

Next Article
« Prev Post
Previous Article
Next Post »

Related Posts

Show comments
Hide comments

0 komentar on Mengenang Kembali Kejayaan Budaya Islam melalui Novel

Posting Komentar