Cerpen: Bercengkerama Senja di Stasiun Bantul

Yun Februari 06, 2018
Yun
Selasa, 06 Februari 2018
C.pxhere.com

Siska Yuniati
Ketua Umum Pergumapi

SEORANG lelaki masuk ke pekarangan rumahku begitu pagar kubuka. Lelaki dengan topi dan jaket itu tersenyum. Aku membalas senyumnya kemudian menerima selembar amplop dari tangannya.

“Ibu Rosita?”

“Ya, benar.”

Lelaki itu mengulurkan sebuah amplop dan lembaran kertas kepadaku, “Maaf Bu, tolong tanda tangani bukti penerimaan ini.”

Aku pun menggoreskan tinta pulpen pada kertas itu. Pulpen yang aku pinjam dari lelaki itu juga. Ah, betapa baiknya dia.

“Terima kasih Bu.”

Aku mengangguk. O, o, o… dunia menjadi cerah di langit hati. Anyelir dan mawar yang berderet di kiri-kanan teras rumah juga menjadi lebih beraroma dan memabukkan mata.

Sebuah surat dari Johana, sahabat lamaku. Surat yang dikirim dengan jasa perusahaan pengiriman. Bagiku itu sangat istimewa untuk perempuan seusiaku. Usia 60 tahun dengan kulit yang berkerut-kerut dan kaca mata yang sering mlorot di ujung hidung. Lebih parah lagi kalau aku lupa menaruh kaca mata itu, kemudian melontarkan pertanyaan kepada suamiku.

“Pakne, lihat kaca mataku?”

Suamiku yang tak kalah tua dariku menggeleng. Lantas aku celingukan sebentar, kemudian menata tanaman.

“Ah, nanti juga ketemu.”

Benar saja, pada hari yang sama aku menemukan kaca mataku tergeletak di atas meja makan. Tentu saja, karena kami tinggal berdua di rumah ini, selain Mbah Yem yang datang pagi untuk memasak dan bersih-bersih rumah. Anak-anak kami empat orang, semuanya sudah berumah tangga dan tinggal di luar kota.

Dan kini, Joan ingin mengajakku bertemu. Pertemuan senja di Stasiun Bantul. Ada-ada saja. Perempuan itu selalu melekatkan masa lalunya dalam setiap langkah. Dulu kami sama-sama sekolah di SMP Muhammadiyah, selatan Gedung Parasamya sekarang. Joan, anak pintar. Ia senang menulis surat, terutama pada kekasihnya, Sudarman. Ia juga senang mengoleksi amplop dan kertas surat. Katanya setiap warna ada maknanya. Joan akan buru-buru membalas surat kalau kertas surat itu berwarna biru.

“Wah, si pengirim surat telah menanti balasanku.”

Kali lain ia akan tenang-tenang saja saat menerima surat dari teman lelaki, meskipun kata-katanya teramat romantis.

“Lihat warna kertasnya. Warna kuning menandakan si pengirimnya benar-benar tulus ingin bersahabat.”

Ai, mana bisa warna surat dijadikan pedoman seperti itu. Kalau saat menulis surat hanya kertas itu yang teronggok di depan mata, bagaimana? Nyatanya, Sudarman sendiri lebih sering berkirim surat dengan kertas putih.

Sudarman, bekerja di kantor pos kota. Berangkat pagi, pulang sore. Dengan sepeda untanya, kelihatanlah dia sebagai lelaki gagah. Joan dan aku sering berpapasan dengannya saat berangkat sekolah. Rumah kami berada di sekitar Stasiun Bantul. Pagi hari kami sering berada di stasiun itu, berpura-pura menonton kereta yang datang dan pergi. Akan tetapi sebenarnya kami menunggu Sudarman yang akan bekerja. Kami tergesa meninggalkan stasiun saat kereta pagi benar-benar datang. Karena dari dalam kereta itu, beberapa guru kami adalah penumpangnya. Bertahun kami lakukan kegiatan itu. Baru setelah lulus sekolah kami berhenti. Joan ikut orang tuanya ke Jakarta, sedangkan aku masih di Bantul. Sudarman sendiri juga tidak ada kabarnya. Ah, Johana, barangkali ia masih ingat suara kereta api diesel Krupp D yang melengking selaksa orang menjerit.

Waktu kecil, aku, Joan, dan anak-anak sekitar stasiun saban sore selalu berbau wangi. Wajah segar kami setelah mandi akan sumringah begitu suara kereta api terdengar. Ya, kami telah berada di Stasiun Bantul, berjajar rapi, mirip penumpang yang lain. Kami akan melambaikan tangan kepada masinis, bersenyum sapa, kemudian memasuki gerbong kereta. Penjual karcis dan masinis sudah sangat hapal dengan kami. Tanpa pungutan biaya, kami bebas duduk di kursi kereta kalau memang tidak digunakan penumpang lain. Namun biasanya, kami lebih senang berdiri atau kalau duduk kami memilih tempat duduk dekat jendela. Betapa lucunya melihat rumah-rumah dan pepohon berjalan mundur dengan cepat. Di dalam kereta, kami saling cekikikan karena  tubuh kami bergoyang-goyang. Kami pun berhamburan keluar saat kereta berhenti di Stasiun Palbapang.

“Hati-hati,” begitu kata masinis.

“Ya Pak, terima kasih.”

Selanjutnya, kami menunggu kereta yang akan berangkat ke Jogja, menumpang sampai Stasiun Bantul lagi.

Ada cerita ketika Joan bersepeda ke sekolah. Banyak teman-teman sekolah mengerubuti sepeda gazele seri 11 itu. Joan senang sekali karena mendapat perhatian. Memang, saat itu baru beberapa anak yang mempunyai sepeda, termasuk guru-guru kami. Guru-guru kami umumnya berangkat bekerja dengan menumpang kereta. Tiba di stasiun mereka berjalan sejauh setengah kilometer untuk sampai sekolah. Teman-teman kami pun demikian. Kendati jauh, mereka tetap berjalan kaki. Karena memang hanya cara itu yang mungkin ditempuh.

Akan halnya sepeda Joan, entah siapa yang melakukannya, suatu hari saat pulang sekolah sedelnya sudah tidak ada. Kami riuh mencarinya. Guru-guru kami pun turut mencarinya. Anehnya, sedel itu ketemu di atas meja guru di ruangan kelas kami. Sejak kejadian itu, Joan tidak lagi pergi sekolah dengan sepeda.

Sore itu aku minta suamiku untuk menemaniku ke stasiun. Kami cukup berjalan kaki. Menapaki usia senja, barangkali hal langka seorang teman meluangkan waktunya sekadar bercengkrama dengan kita. Selain jarak dan waktu, faktor fisik juga menjadi penghalang. Padahal, banyak sekali cerita akan terurai. Saat-saat seperti inilah suami benar-benar menjelma sebagai teman hidup. Atau sebaliknya, istri adalah sebaik-baik sahabat. Penampilan tidak lagi terlalu dirisaukan, meski rambut memutih dan mata mulai rabun. Suami kita agaknya lebih senang menyeruput teh hangat daripada melumat bibir kita. Dan kita sebagai istri, cukuplah manggut-manggut mendengarkan keluhan suami akan tubuhnya yang sering masuk angin dan kakinya yang pegal-pegal. Atau mendengarkan ide untuk masa depan yang tinggal sepotong ini. Ah, kalau itu bisa dilakukan, kita sudah dianggap cantik sehingga tak perlu khawatir dia mencari perempuan lain.

Seperempat jam kami menunggu di Stasiun Bantul, Joan belum juga datang. Dalam suratnya dia akan datang pukul empat sore, persis seperti datangnya kereta sore pada waktu itu. Kami mulai pegal mondar-mandir di sekitar stasiun sambil membatin lobang-lobang angin yang menempel di dinding atas bagian muka stasiun. Seluruhnya berjumlah dua belas buah, empat di muka, empat di belakang, dan dua di sisi kiri dan kanan. Sebenarnya hanya dua pertiga dari lingkaran itu yang berfungsi sebagai fentilasi. Sepertiga yang lain hanyalah lengkungan yang menyatu dengan tembok. Pada lubang itu dipasang teralis vertikal horizontal. Batang besi yang digunakan besar-besar, kira-kira berdiameter setengah inchi.

Sepintas lalu, bangunan itu tak berbeda dengan rumah penduduk. Ukurannya tak terlalu besar, tak ada ciri-ciri stasiun di sana. Atapnya berbentuk limasan dan terbuat dari genteng tanah. Posisinya sedikit lebih tinggi dari bagunan rumah di sebelahnya. Sedikit mendekat, terlihat bahwa tembok itu terbuat dari campuran semen, pasir, dan batu kerikil. Karakteristiknya mirip dengan tembok-tembok bangunan lain buatan Belanda.

Pedagang makanan itu mengamati kami. Aku mencoba tersenyum padanya. ”Warung makan Stasiun”, begitu tertulis di atas pintu masuk. Sedia soto babat, soto daging sapi, soto daging ayam, nasi rames, gado-gado. Kami memasuki warung tersebut.

“Teh hangat dua Mbak,” kataku sambil merapikan gamis panjang dengan ujung borcade yang aku kenakan.

“Pak, duduk sini!” lelakikku perlahan mendekat pada kursi panjang yang aku duduki. Koran yang tergeletak di meja diambilnya.

Geli rasanya duduk di warung ini. Dulunya, di tempat inilah petugas kereta api sibuk melayani pembelian tiket. Sementara bagian ujung yang lain orang-orang berkerumun menanti kereta. Sekarang, tempat itu difungsikan sebagai bengkel milik koperasi karyawan Pemda Bantul. Sore hari, kegiatan bengkel usai, dan rolling door bercat merah akan menutupnya. Selanjutnya giliran penjual jamu menggelar dagangnya di bekas eksplasement stasiun.

“Joan belum juga datang, Pak.”

“Ditunggu saja,” sahut suamiku.

Aku memandangi jalur lambat di depanku. Motor dan sepeda ontel terlihat berlalu-lalang. Di bawah aspal itulah rel panjang terkubur bersama episode-episode hidup yang pernah tercipta. Peron kereta api berada di seberang rel sebelum jalan utama. Jangan dibayangkan jalan Jenderal Sudirman ini seluas sekarang. Jalan itu hanya cukup dilalui sebuah gerobak. Setelah jalan, rel yang menuju ke utara terbentang.

Konon, rel yang terkubur di bawah aspal itu membentang dari Yogyakarta, Bantul, Srandakaan, hingga Brosot. Bahkan, ke arah utara, sampai Magelang. Rel-rel kereta api tersebut dibangun oleh Pemerintah Kolonial Belanda tahun 1895, jauh sebelum kemerdekaan Indonesia. Stasiunnya sendiri sangat banyak, dari Stasiun Tugu ke arah selatan saja paling tidak ada tujuh stasiun, ada Stasiun Ngabean, Dongkelan, Winongo, Bantul, Palbapang, Srandakaan, dan Brosot.

Tahun 2008 silam, terpetik kabar dari pernyataan Menteri Perhubungan RI, jalur KA akan dihidupkan lagi. Hmm, aku tak bisa membayangkan, apa yang terjadi jika rencana itu benar-benar direalisasikan. DIY sudah tak seperti dulu, Bung, sangat banyak yang harus dikorbankan.

Ah, Johana, belum juga terlihat batang hidungnya. Rupanya aku harus menunggu lebih lama lagi.

“Pak, hampir Magrib.”

Suamiku meletakkan koran yang dibawanya.***

Cerpen ini merupakan pemenang pertama Lomba Menulis Cerpen Tempo Doeloe yang diselenggarakan Arsitektur Indis bekerja sama dengan Komunitas Historia Indonesia dan Pusat Dokumentasi Arsitektur tahun 2009.

Thanks for reading Cerpen: Bercengkerama Senja di Stasiun Bantul | Tags:

Next Article
« Prev Post
Previous Article
Next Post »

Related Posts

Show comments
Hide comments

2 komentar on Cerpen: Bercengkerama Senja di Stasiun Bantul

  1. Bagus...jadi tahu sejarah perkeretaapian di Bantul yang menjadi jawaban rasa penasaranku saat melihat relndi depan PG PAUD UNY jalan Bantul

    BalasHapus