Cerpen: Sarno

Rina harwati Desember 02, 2018
Rina harwati
Minggu, 02 Desember 2018

SIANG yang sangat terik itu Sarno duduk termenung di kursi becaknya yang mulai sobek-sobek di beberapa tempat. Digeser duduknya di bagian pinggir kursi, sehingga ia bisa sedikit menyandarkan kepalanya di tiang besi keras penyangga atap becaknya. Sejak pagi ia menunggu datangnya penumpang yang mau menggunakan jasanya mengemudi becak. Namun, hingga matahari tepat menyengat ubun-ubunnya, tak satu pun penumpang datang menyambanginya.

Sarno merasa siang itu sungguh terik. Matahari tak sedikit pun mau berkompromi dengannya yang sedang menjalankan ibadah puasa. Bahkan, Sarno merasa sang surya memancar lebih garang dari biasanya, padahal perut Sarno hanya diisi makanan ala kadarnya sahur tadi. Dibekali tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga, Sarno tetap menarik becak walaupun ia sedang berpuasa. Didengarnya azan Zhuhur memanggil-manggil umatnya untuk datang berserah pada Sang Kuasa.

“Shalat dulu. Semoga sehabis shalat ada rezeki yang datang padaku,” batin Sarno berharap. Ia segera turun dari becaknya dan menuju masjid yang hanya berjarak seratus meter dari tempatnya mangkal. Dilihatnya beberapa temannya sesama pengemudi becak tertidur pulas di dalam becaknya. Hanya Darmin yang masih terjaga dan duduk dalam becaknya. Ia mengipasi lehernya dengan topinya yang telah usang.

“Mau shalat, No. Ya, sana. Jangan lupa doain aku biar dapat rezeki yang banyak,” Darmin menyapa Sarno seenaknya. Sarno hanya tersenyum dan berlalu. “Kenapa nggak berdoa sendiri saja,” batin Sarno.

Selesai shalat, kembali Sarno duduk di dalam becaknya untuk menunggu penumpang. Ditengoknya teman-temannya masih tertidur juga. Darmin pun ikut pulas. Sejenak Sarno terdiam.

Dihelanya napas panjang beberapa kali untuk melapangkan dadanya yang sesak. Hatinya galau memikirkan nasibnya yang tak kunjung berubah. Sudah tiga kali ini ia berganti pekerjaan. Namun, keberuntungan belum juga berpihak padanya. Ia pernah bekerja sebagai kuli bangunan.

Namun, banyaknya tenaga terdidik membuatnya tersingkir dari pekerjaan. Dicobanya pula menjadi kuli angkut di terminal, namun ia tak tahan karena hasil yang diperolehnya harus ia serahkan separuh pada sang penguasa pasar yang setiap harinya hanya duduk-duduk mengawasi para kuli bekerja keras. Mereka tak peduli walaupun penghasilan para kuli tersebut tak seberapa dibandingkan tenaga yang mereka keluarkan.

Menjadi tukang becak menjadi harapan terakhir Sarno untuk menggantungkan hidupnya dan keluarganya. Walaupun hasilnya sedikit, namun ia tak perlu menyetorkan hasil becaknya pada siapa pun. Ia hanya perlu menyisihkan sebagian hasil becaknya untuk mencicil pembelian becak yang belum lunas. Toh becak itu akan menjadi miliknya sepenuhnya bila telah lunas nanti. Tak terasa kantuk mulai menyerang daya tahannya. Sarno tak mampu lagi bertahan hingga ia tak sadar telah tertidur pulas di dalam becaknya.

“Pak … pak… pak becak,” terdengar sayup-sayup orang berbicara agak keras di depannya. Di antara tidur dan bangunnya Sarno merasa tempat yang ia duduki bergoyang-goyang pelan. Sontak ia terbangun. Ia agak terkejut ketika didapatinya sesosok ibu-ibu gemuk tengah berdiri di hadapannya sambil menggoyang-goyangkan becaknya.

“Kok pada tidur semua nih gimana? Mau cari rezeki nggak sih,” kata wanita gemuk tersebut sinis. Peluh bercucuran di wajah dan lehernya yang berlipat-lipat banyak lemak. Di depannya teronggok dua tas besar entah isinya.

“Maaf, Bu, lagi puasa,” jawab Sarno sopan. Ia segera turun dari becaknya.

“Pasar Manis sepuluh ribu ya. Biasa,” kata ibu gemuk itu singkat namun masih menunjukkan wajahnya yang tidak ramah.

“Yah, tambahin dong, Bu, kan jauh. Biasanya lima belas kok,” Sarno meminta tambahan harga pada ibu tersebut. Namun bukan anggukan yang ia dapatkan justru omelan panjang lebar khas ibu-ibu pelit.

“Ya sudah kalau nggak mau. Masih banyak yang mau dengan duit segitu,” katanya lebih ketus sambil beranjak dari tempatnya. Dalam hati Sarno mengeluh, namun berhubung sejak pagi ia belum menendapatkan sedikit pun penghasilan akhirnya ia menyanggupi untuk mengantarkan ibu dengan upah sepuluh ribu rupiah.

“Nah gitu. Udah biasa kok,” ibu itu berbicara lagi sambil bersiap naik ke becak Sarno. Tubuhnya yang gempal membuatnya kesulitan menaiki becak Sarno. Sarno membantunya dengan sedikit menjungkitkan becaknya ke depan. Dengan begitu bagian depan becak menjadi rendah dan ibu tersebut dapat menaiki becaknya dengan mudah. Sarno membantu menaikkan dua tas besar dan berat di depan kaki ibu gemuk tersebut. Kini becak Sarno menjadi penuh sesak.

Sarno mulai mengayuh becak tersebut. Terlihat ia kepayahan dengan beban yang mahaberat dan kondisi perutnya yang lapar. Demi keluarganya, ia bertekad mengayuh becaknya kuat-kuat membawa ibu gemuk tersebut sampai tujuan. Tak terkira peluh keluar dari pori-pori kulitnya yang hitam legam. Tenggorokannya terasa kering namun Sarno tetap bertahan. Tekadnya hanya satu, yaitu mencari rezeki untuk anak dan istrinya di rumah.

Sambil menarik becak, terbayang jelas wajah istri dan kedua anaknya di rumah. Terbayang pula di benaknya ia harus mencari uang tambahan untuk diberikan pada istrinya menjelang hari raya nanti. Lebaran semakin dekat, namun ia belum mempunyai persiapan apa pun untuk menyambutnya. Di benaknya terbayang anaka-naknya yang merengek meminta baju baru atau istrinya yang sedih karena tidak dapat membeli kue-kue sederhana khas Lebaran. Semakin jelas gambaran-gambaran itu di benaknya, semakin ia bersemangat mengayuh becaknya. Ia berharap, semoga ibu gemuk tersebut menjadi pembuka jalan masuknya rezeki pada hari ini.

***

Sarno yang kelelahan kembali duduk di kursi becaknya. Diluruskannya kakinya dan disandarkan kepalanya di jeruji penyangga atap becaknya agar lelah yang menderanya segera pergi. Tanpa terasa pikirannya mengembara ke masa Lebaran lalu yang dilewatinya dengan hampa. Jangankan lontong opor khas Lebaran, sekadar kue-kue sederhana pun ia tak mampu membelinya. Untunglah Watik istrinya sangat memaklumi keadaannya, sehingga ia tak banyak menuntut.
Untuk membelikan baju bekas anaknya pun Watik terpaksa berutang kanan-kiri.

Tahun ini ia berharap mendapatkan rezeki lebih untuk merayakan hari raya bersama anak dan istrinya. Sebenarnya Sarno berharap anak sulungnya yang bekerja sebagai TKW di Arab Saudi pulang walaupun untuk beberapa saat saja.
Samtri sudah bekerja sebagai TKW selama lima tahun. Selama itu pula ia tak pernah pulang mengunjungi keluarganya. Bahkan, Sarno tidak tahu kabar mengenai putrinya itu. Dalam hati ia ingin menanyakan keadaan putri sulungnya tersebut pada agen yang dulu memberangkatkannya, namun agen tersebut telah pindah tempat dan ia tak tahu ke mana lagi harus menanyakan keadaan putrinya. Ditahannya rasa kangennya sampai lima tahun ini. Ia hanya berharap Samtri dalam keadaan baik-baik saja. Dadanya perih bila ia melihat berita TV tentang banyaknya penyiksaan terhadap TKW. Watik, istrinya pun selalu menitikkan air mata bila mengingat putri sulungnya Samtri. Tapi, ia tak bisa berbuat apa-apa.

Waktu semakin beranjak petang, namun belum ada lagi orang datang meminta jasa becaknya. “Ah, apa yang akan kuberikan pada istriku nanti?” batinnya sedih. Ia memutuskan untuk pulang saja bila waktu Maghrib datang. Namun, ia masih berharap untuk mendapatkan pelanggan lagi sebelum Maghrib. Sudah dua hari ini ia tak mampu mencicil becaknya karena penghasilannya sangat minim. Beruntunglah Haji Ahim juragan yang baik hati itu mau memaklumi keadaannya. Namun, ia merasa tak enak hati juga.

Dari jarak tak begitu jauh dilihatnya seseorang berjalan ke arahnya. “Semoga ini rezekiku,” batinnya sungguh berharap. Ia bersiap-siap turun dari becaknya ketika seseorang tersebut berada hampir di depannya. Hatinya bahagia. Senyumnya lebar.

“Pak, numpang tanya. Desa Sawo mana ya?” Tanya orang itu. Senyum Sarno menciut. Ternyata orang tersebut bukan ingin memakai jasanya, namun hanya bertanya tentang suatu alamat. Sarno menjelaskan letak desa tersebut. Tangannya menunjuk-nunjuk ke arah desa yang dimaksud. Sarno sempat menawarkan mengantar orang tersebut dengan becaknya, namun ia memilih untuk berjalan kaki saja. Sambil berlalu, ia mengucapkan banyak terima kasih pada Sarno.

***

Hari sebentar lagi gelap. Sayup-sayup terdengar azan Maghrib mengalun merdu di telinga Sarno. Dikeluarkannya air putih di botol usang yang dibawanya dari rumah tadi. Diteguknya pelan pelan air itu. Kerongkongannya yang tadinya kering, terasa begitu lega setelah beberapa teguk air putih mengguyurnya. Segera ia turun dari kursi becaknya dan bersiap-siap untuk pulang.

Hatinya sedih karena hari ini ia hanya mendapatkan uang sepuluh ribu rupiah dari ibu gemuk yang diantarnya tadi siang. Dinaikinya sadel becaknya dan ia bergegas menginjak pedal membawa becak itu pulang.

“Becak, Pak. Tolong antar saya ke jalan Bambu ya. Tahu kan? Berapa?” seorang gadis memaksanya untuk berhenti lagi. Gadis itu membawa beberapa tas besar seolah baru pulang dari bepergian jauh. Menilik dari logat bicaranya sepertinya ia bukan berasal dari daerah tersebut. Logat itu sangat asing bagi Sarno. Penampilannya modern, beberapa perhiasan menempel di tubuhnya. Bahkan, ketika ia menggerakkan tangannya, terdengarlah bunyi gemerincing karena beberapa gelangnya saling beradu.

“Bisa, Mbak. Dua puluh ribu ya,” jawabnya sambil turun dari becaknya. Ia hafal sekali daerah tersebut karena tahun lalu ia adalah salah satu penghuninya sebelum petugas Kamtib mengusirnya. Ia berharap semoga gadis tidak menawarnya. Si gadis tersebut menganggukkan kepala tanda setuju. Seperti biasa Sarno langsung menjungkitkan becaknya untuk membantu penumpang naik. Sepatunya yang ber-high heel tersangkut di pinggiran lantai becaknya. Hampir saja ia terpeleset, untunglah ia masih sempat berpegangan pada sisi becak tersebut.

Gemerincingan suara gelang-gelang beradu membuat hati Sarno berdegup. “Ah, betapa kaya gadis itu,” batinnya. Bunyi gemerincing gelang-gelang yang dipakai gadis itu sungguh mengganggu pikirannya. “Seandainya saja Watik juga memakai perhiasan seperti itu, pastilah ia sangat bahagia,” batinnya lagi.

Entah setan mana yang merasuki dirinya hingga pikirannya dipenuhi dengan beribu ‘seandainya’. Ia sudah lupa bahwa hari ini ia sedang berpuasa. Ia lupa pula akan shalat yang dilakukannya setiap hari. Tiba-tiba kalbunya menjadi gelap. Pikiran jahat tiba-tiba datang menyeruak ke alam pikirnya. Secepatnya ia mengambil seutas tali yang biasanya untuk menalikan kain penutup becaknya. Tekadnya bulat. Ia akan mengalungi leher gadis itu dengan seutas tali dan menariknya dengan kencang. Setelah tak berdaya, ia akan mengambil barang-barang yang dibawanya, terutama beberapa gelang yang bergemerincingan di pergelangan tangannya. Tekatnya bulat dan hatinya telah tebawa bujuk rayu setan.

Namun belum lagi niat itu terlaksana tampak sinar lampu motor berada tepat di hadapannya. Dan ‘brakkk’ suara keras benturan itu tak dapat terelakkan lagi. Becak Sarno terpelanting, demikian juga penumpang sepeda motor yang ternyata anak muda itu. Untunglah semuanya masih dilindungi oleh Yang Maha Kuasa. Sarno membantu si gadis kaya itu berdiri. Setelah saling berbicara Sarno dan pengendara motor itu sepakat untuk berdamai saja. Kemudian pengendara sepeda motor itu segera pergi.

Sarno menghampiri gadis itu dan meminta maaf atas kecelakaan tadi. Gadis itu berdiri tepat di bawah lampu penerangan jalan. Wajahnya terlihat jelas di bawah sinar lampu itu. Hati Sarno tersirap melihat wajah itu. Wajah yang begitu dikenalnya. Wajah Samtri anak sulungnya yang sudah lima tahun tidak ditemuinya.

“Samtri. Kamu nduk?” kata Sarno terbata-bata. Tanpa menunggu jawaban Samtri, Sarno segera memeluk gadis itu erat-erat. “Ini bapak, Nduk,” lanjutnya sambil terus mendekap erat Samtri.

“Bapak. Kok bapak narik becak?” Kata Samtri penuh tanya. Melihat pria itu adalah Sarno ayahnya, Samtri gantian memeluknya erat.

“Ya, Nduk. Ceritanya panjang. Nanti bapak cerita. Ayo kita pulang. Kita sudah pindah. Rumah kita tidak di sini lagi,” kata Sarno sesenggukan. Ia segera membawa Samtri pulang ke rumahnya. Sesekali terdengar helaan napas panjangnya. Sambil mengayuh becak ia membayangkan seandainya ia tadi menuruti hawa nafsunya, pastilah kejadiannya akan lain lagi dan ia akan menyesal seumur hidupnya.

“Ya Allah, ampunilah aku,” batinnya menyesali diri. Allah SWT masih menyelamatkannya. “Allahu Akbar… Allahu Akbar,” dari bibirnya sayup-sayup mengalir takbir berkali kali. (*)

(Ditulis oleh Lilis Umi Faiezah, S.Pd.,M.A. Guru MTsN 6 Sleman dan pernah dipublikasikan di harian Republika, 8 Agustus 2010)

Thanks for reading Cerpen: Sarno | Tags:

Next Article
« Prev Post
Previous Article
Next Post »

Related Posts

Show comments
Hide comments

0 komentar on Cerpen: Sarno

Posting Komentar