Tips Menulis Teenlit dari Wiwien Wintarto

Yun Oktober 16, 2017
Yun
Senin, 16 Oktober 2017
Wiwien Wintarto
Oleh Siska Yuniati, Ketua Umum Pergumapi

PERGUMAPI.or.id---Novel teenlit merupakan genre sastra yang cukup mendapat tempat akhir-akhir ini. Jika kita tengok di rak toko-toko buku besar, teenlit tak pernah absen menghiasinya.

Selain muncul di toko buku, tidak jarang novel bergenre teenlit menjadi dikenal luas hingga diangkat ke layar lebar. Mulai yang “senior”, kita mengenal Ali Topan Anak Jalanan hingga yang lebih baru, yang dikenal mulai 2000-an, ada novel Dealova. Karya ini kemudian diangkat dalam film Dealova dan soundtracknya yang sangat terkenal itu juga berjudul “Dealova”. Novel Dealova lahir dari tangan dingin Dyan Nuranindya yang menggarapnya sejak dia duduk di bangku sekolah menangah pertama.

Selain dua karya itu, kita juga mengenal karya-karya lain yang juga tidak kalah terkenalnya, seperti Eiffel I’m in Love, Fairish, Dua Rembulan, Rahasia Bintang, dan Jingga dan Senja. Siapa pun penulisnya, novel-novel itu bercerita tentang remaja, kehidupan remaja, pola pikir remaja, sudut pandang remaja, dan berbagai sisi lain persoalan remaja.

Pertanyaannya, jika terkait remaja, apakah sebuah teenlit yang kekinian harus identik dengan kealay(i)an anak muda?

Topik “alay” inilah yang direspons pertama kali oleh Wiwien Wintarto dalam diskusi online dua jam dengan guru-guru anggota Asosiasi Guru Madrasah Penulis Indonesia (Agumapi), Sabtu (15/10) malam. Penulis puluhan teenlit dan pemenang lomba menulis skenario itu secara tak terduga mengungkapkan bahwa novel teenlit tidak harus alay.

Penulis asal Semarang yang mengaku sekarang fokus pada tulisan dengan target pembaca dewasa muda itu, mengungkapkan bahwa kealayan novel teenlit lebih kepada konteks tema, bukan terkait struktur dan cara bercerita. Sebagai produk sastra, novel teenlit harus mengacu kepada tata aturan penulisan yang berlaku. Jika saat ini yang berlaku EBI, itulah standar bahasa yang digunakan. Lebih lanjut, Wiwien menjelaskan bahwa kealayan seorang anak remaja bisa dimunculkan pada bagian tertentu, misalnya pada bagian dialog atau komunikasi antar tokoh. Maka, Wiwien menegaskan bahwa hal yang perlu dilatih seorang penulis novel teenlit adalah perihal kelincahan dan ketidakkakuan dalam menulis.

Saat ini rata-rata penerbit mau memproduksi novel teenlit. Jadi, bagi penulis hal ini merupakan keuntungan. Untuk dapat diterbitkan oleh penerbit, Wiwien berpendapat, sebuah naskah tidak harus benar-benar luar biasa, titik fokusnya justru menjual atau tidaknya naskah tersebut. Penerbit akan tertarik menerbitkan sebuah naskah jika dipandang akan laku.

Selain mengupas persoalan bahasa, Wiwien juga menyampaikan tips-tips yang disarikan dari pengalaman menulisnya. Ada delapan tips yang disampaikan Wiwien.

Pertama, bagian tersulit dari penulisan novel adalah memulai. Menemukan ide yang tepat dan kemudian menyusun alur juga sulit. Tapi tetap saja, meski itu sudah ketemu, setengah mati susahnya untuk memulai. Pasti terpikir “kudu nulis apa nih?”. Nah di sini akan terkuak trik-trik simpel untuk membuat kita lebih gampang memulai.

Kedua, saat terpikir menulis novel, jangan terbebani dengan mutu alias kualitas karya apalagi terpikir harus bisa menghasilkan karya megah nan inspiratif seperti Laskar Pelangi atau Hafalan Shalat Delisa. Why? Karena kebanyakan penerbit mencari barang yang bisa dijual, bukan kurator sastra yang mencari karya tercanggih yang sekali baca, langsung membuat pembaca menangis. Novel standar namun punya potensi pasar bagus akan diakomodasi daripada satu karya yang bernilai tinggi namun kemungkinan hanya bisa dinikmati kalangan kecil. Jadi, apa yang sedang gampang laku di dunia pernovelan saat ini?

Ketiga, jawabannya adalah novel romance, dengan pasar pembaca perempuan modern perkotaan usia 20-45 berstrata sosial middle up. Nyaris semua penerbit mayor menerbitkan novel jenis ini, sebagian besar laku. At least nggak rugi. Ceritanya pun rata-rata sama. Umumnya tentang dua sahabat cewek-cowok yang akhirnya jatuh cinta namun ragu memulai. Alur seperti ini sudah ratusan kali dipakai, tapi tetap oke. Tidak bakal dikenai tuduhan plagiat atau pembajakan. Cukup dengan memvariasi detail karakter dan kehidupan, novel-novel sudah dianggap berbeda. Tema “gampang” lain yang juga kerap hadir adalah cinta segitiga, seperti di serial Cinta & Rahasia NET.

Keempat, untuk latihan, apalagi bagi yang akan kali pertama bikin novel, tema- tema mudah seperti itu adalah jalan yang pas guna lebih gampang memulai. Jadi tak perlu pusing mencari ide. Sudah ada, tidak perlu mencari lagi. Tinggal dituliskan. Lalu, langkah berikut adalah menulis outline. Bisa dibuat outline per bab dengan kata-kata singkat, dengan kira-kira 15-20 bab utk panjang satu novel standar.

Kelima, agar makin mudah, tulislah adegan tersepele dan teremeh di bab satu sekadar untuk memaksa otak untuk memulai. Sesudah ini rampung ditulis, bab-bab berikut akan lebih lancar dikerjakan. Adegan tergampang yang bisa dipakai untuk mengisi bab satu novel kita adalah adegan bangun tidur. Misal si tokoh bangun, ngecek HP, lalu mandi dan ke meja makan utk sarapan sebelum berangkat sekolah, kuliah, atau kantor. Di situ ia bertemu seluruh anggota keluarganya, maka sekaligus sambil mengenalkan tokoh utama dan kehidupannya.

Keenam, adegan ini sekadar cara memulai. Bila nanti sesudah cerita tamat, bab satu nggak bagus atau bahkan nggak nyambung, dia bisa diganti adegan lain. Saya masih sering memakai teknik ini untuk memulai. Seringnya adegan bab satu harus diganti pada saat proses editing. Tapi nggak apa-apa. Ia hanya sekadar langkah gampangan untuk memulai, daripada berjam-jam duduk di depan laptop dan bingung mau nulis apa.

Ketujuh, intinya, pada era milenial sekarang ini, semua harus dibikin mudah dari diri sendiri, agar semua mudah pula dijalani. Cara menerbitkan pun bisa dibuat mudah pula. Andai ditolak penerbit mayor, bisa diterbitkan sendiri. Andai tak punya dana untuk self publishing, bisa dipasang di Wattpad atau Kompasiana. Tetap sama-sama terbit dan dibaca banyak orang. Hal terpenting, menambah banyak teman sesama penulis, baik amatir maupun profesiobal.

Kedelapan, adapun standar penulisan naskah (fiksi atau nonfiksi) adalah seperti ini:
o Font Times New Roman 12 pt
o Layar A4
o Spasi 1,5
o Alignment justified
o Tulisan tidak perlu diefek

Ini adalah standar internasional. Dengan kriteria demikian, satu naskah novel minimal terdiri atas 170 halaman. Di bawah 170, namanya novella. Tapi umumnya, 150an halaman adalah jumlah aman bagi kebanyakan penulis. Jika hendak terbit indie, halaman bisa disusutkan ke 120an. Kaitannya dengan ongkos cetak.

Tips yang disampaikan Wiwien tersebut disambut antusias oleh para peserta. Beberapa pertanyaan diajukan. Noor Sofi misalnya, guru MTs Negeri 9 Bantul ini mengajukan pertanyaan tentang tips menembus penerbit dan teknik memunculkan ide-ide sehingga melahirkan banyak tulisan.

Terkait menembus penerbit, Wiwien menyarankan untuk mencari koneksi dengan penerbit. Selain itu, solusi lain adalah menulis novel yang jenisnya paling laris di penerbit bersangkutan. Sementara itu, tentang teknik memunculkan ide-ide, Wiwien menyarankan untuk beralih ke aktivitas lain, menonton dan membaca adalah di antara aktivitas yang paling disarankan oleh Wiwien.

Pertanyaan senada disampaikan Sri Rahmiyati. Pengawas madrasah dari Gunungkidul itu bertanya tentang teknik mengatasi permasalahan writer block. Menurut Wiwien, perihal ini sama dengan teknik memunculkan ide-ide, yakni dengan mengalihkan ke aktivitas lain seperti menonton dan membaca.

Masih terkait ide-ide, Sarifudin bertanya tentang sumber inspirasi, apakah terkait pengalaman atau pengamatan. Sarifudin juga bertanya kapan seharusnya judul sebuah cerita dibuat.

Tentang inspirasi, Wiwien berpendapat kebanyakan penulis memang menuangkan ide-ide yang terinspirasi dari pengalaman hidup penulisnya. Berlandasarkan pengalaman-pengalaman tersebut, cerita bisa diolah bersama peristiwa-peristiwa fiktif. Sementara itu, tentang saat terbaik menentukan judul adalah setelah cerita selesai. Wiwien mengaku, hanya satu dari puluhan karyanya yang judulnya dibuat terlebih dahulu.

Menjawab pertanyaan Yeti Islamawati tentang narasi dan dioalog, Wiwien menyarankan khusus novel pop sebaiknya didominasi dialog-dialog. Ada obrolan-obrolan panjang untuk menghidupkan cerita.

Perihal menciptakan tulisan yang menarik bagi pembaca untuk menjawab pertanyaan Ogi Lesmana, Wiwien berpendapat bahwa seorang penulis sedikit banyak mengerti ilmu marketing. Seorang penulis harus mengerti pembaca sasarannya, seorang penulis harus membedah dunia mereka. Khusus teenlit, pembacanya adalah remaja dengan rentang usia 14-19 tahun, sementara roman dewasa target usianya 20-40 tahun.

Pertanyaan tidak kalah menarik disampaikan Rr. Siti Murdaning tentang kemiripan-kemiripan yang terjadi pada cerita yang ditulis dengan cerita-cerita sebelumnya. Terkait hal ini, untuk menghindari tuduhan plagiarisme Wiwien menyarankan untuk menghindari kesamaan yang terlalu banyak.

Diskusi yang berlangsung hingga pukul 21.20 WIB itu diikuti oleh anggota Agumapi dari seluruh Indonesia. Pada penghujung diskusi, Wiwien berpesan untuk tidak ragu menulis. Menurut Wiwien, menulis tidak semata pekerjaan, melainkan juga merupakan aktivitas mental. Seseorang rajin menulis mentalnya lebih sehat. Fungsi menulis bagi jiwa menurut Wiwien sama dengan fungsi olahraga bagi fisik seseorang. (*)

Thanks for reading Tips Menulis Teenlit dari Wiwien Wintarto | Tags:

Next Article
« Prev Post
Previous Article
Next Post »

Related Posts

Show comments
Hide comments

0 komentar on Tips Menulis Teenlit dari Wiwien Wintarto

Posting Komentar